Kamis, 18 April 2013

DINAMIKA POLITIK




TELAAH ETIKA PENYELENGARA PEMILU
DALAM SIDANG DKPP
Oleh :
DIDIK ARIYANTO

Kasus sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP mengenai pelanggaran Komisioner KPU atas dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu sebagaimana dilaporkan Ketua Umum dan Sekjen Partai Republik, PPRN, Partai Buruh, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia (PPPI), Eliza Nurhilma selaku kuasa Partai Kedaulatan, dan Partai Marhaenisme, merupakan contoh kasus yang menimpa para komisioner KPU saat ini. Sidang tersebut belum memutuskan secara final dan mengikat, akantetapi publik sudah menilai lain mengenai persidangan tersebut. DKPP sepenuhnya telah memiliki otoritas kekuasaan yang besar terhadap benar dan tidaknya tindakan Komisioner KPU dalam pelaksanaan Pemilu. Penjelmaan DKPP sebagai manifestasi suatu peradilan etika, memiliki pandang subyektifitas terhadap persoalan perbuatan hukum terhadap penyelenggara pemilu.  Kekuatan DKPP dapat dipersamakan dengan Komisi Yudisial, cuman Komisi Yudisial bertugas menjaga martabat dan kewibawaan Hakim. Ranah kelakukan dan etika hakim didalam dan diluar persidangan suatu perkara yang menjadi subtansi dasar Komisi Yudisial.
Sebenarnya lahirnya DKPP, karena ketidakpercayaan sebagian anggota DPR terhadap kinerja Komisioner KPU penyelenggara Pemilu 2009. Ketidakpercayaan tersebut disebabkan ada ruang-ruang gelap yang diciptakan oleh Komisioner KPU penyelenggara Pemilu 2009, misalnya: hengkangnya Andi Nurpati ke Partai Demokrat, pasca pemilu 2009. Dewan Kehormatan pada saat itu tidak bisa berbuat banyak, hanya membuat suatu putusan rekomendasi tentang andi Nurpati. Peristiwa inilah menjadi pelajaran berharga bagi Legislator untuk mengubah UU No 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. Peranan DKPP di masukkan secara eksterm melalui  UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada pasal 109 s.d 115. Tugas dan kewenangan DKPP tercantum dalam pasal 111 ayat (3) dan (4), tugas DKPP antara lain : a. menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelengara pemilu; b. Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; c. menetapkan putusan; dan d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti. Sedangkan Kewenangan DKPP yaitu : a. Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; b. Memanggil pelapor, saksi dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; c. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Peranan dan tugas DKPP yang cukup besar dalam proses penyelenggara pemilu untuk berbuat sesuai kode etik penyelengara pemilu. Penyelenggara KPU tidaklah cukup beserta bawahannya akan tetapi juga Bawaslu beserta jajarannya. Penyelenggaran pemilu tidak hanya pelaksanaan teknis administrasi saja akantetpi juga pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat, hal ini tercermin dalam Pasal 112 angka (12) UU No 15 Tahun 2011. Putusan final dan mengikat ini menjadikan momok yang menakutkan bagi penyelenggara pemilu. Proses acara persidangan di DKPP sendiri mirip pada persidangan umum lainnya, ada unsur pengadu dan teradu.  Pengadu ini bisa masyarakat umum, peserta pemilu, pemantau dan/atau pihak-pihak yang di rugikan dalam penyelenggara pemilu, sedangkan pihak teradu adalah penyelenggara pemilu. Dalam konsepsi DKPP dalam acara persidangan DKPP lebih banyak mengali bukti pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Alat Bukti pelanggaran tersebut bisa secara lisan maupun tulisan atau data Teknologi Informasi lainnya yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan.
Putusan DKPP merupakan produk hukum etika penyelenggara pemilu, yang bersifat administratif dan tidak memutup kemungkinan pelanggaran etika tersebut menjurus pada tindak pidana. Hal ini sesuai Pasal 111 ayat (3) “  d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.” Pihak aparat penegak hukum, bisa masuk dalam pelanggaran yang dilakukan Penyelenggara Pemilu asalkan Putusan DKPP dalam amar putusannya menyebutkan “memerintahkan aparat penegak hukum untuk melakukan proses penyelidikan atau penyidikan lebihlanjut.” Begitu besar otoritas DKPP dalam proses pelaksanaan Pemilu, DKPP telah menjadi lembaga yudikatif baru dibidang penyelenggaran pemilu. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu dapat dilakukan proses persidangan DKPP. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Komisioner KPU baik sebagai pelaksana pemilu pada setiap tahapan  dapat dilakukan pengaduan pada tingkat persidangan DKPP.

Pegawasan terhadap DKPP
Jika yang melanggar etik adalah Penyelenggara Pemilu jelas urusannya dengan persidangan di DKPP, kemudian Anggota DKPP melakukan kesalahan dalam putusannya. Siapa yang harus mengawasi DKPP? Dalam UU No 15 Tahun 2011 tidak mengatur secara rigid dan komperhesif mengenai siapa pengawas tingkah laku dan etika para anggota DKPP. DKPP telah menjadi lembaga “superpower” dari sistem penyelenggaraan Pemilu. Putusan DKPP dapat melakukan putusan secara ultra petita, jika para anggota DKPP menemukan bukti-bukti yang dinyakini kuat diluar tuduhan oleh pengadu. Otoritas DKPP dan pengawasan yang nyaris tidak ada, membuat setiap putusan persidangan DKPP tergantung pada subyektifitas anggota majelis dewan kehormatan. Rambu-rambu peraturan kode etik yang dibuat bersama oleh KPU, Bawaslu dan DKPP  merupakan dasar konstitusional DKPP dalam melakukan proses persidangan etika.
Pengawasan DKPP selayaknya harus bisa diterapkan, ketentuan  mengenai pengawas DKPP didalam UU No 15 Tahun 2011, harus dimasukkan. Sehingga jalanannya proses pengawasan terhadap DKPP harus sejalanan semangat membangun penyelenggaran pemilu yang “fair play”. Pengawas terhadap DKPP harus dibentuk antara unsur pemerintah, unsur pengiat pemilu dan unsur yudikatif. kinerja DKPP harus dapat dipertanggungjawabkan lewat publik. Telaah fungsi dan kewenangan DKPP harus diperjelas dalam ruang lingkup peranan dan fungsi DKPP secara komperhensif. Anggota DKPP yang terdiri dari 1 (satu) orang dari unsur KPU, 1 (satu) orang unsur Bawaslu, 1 (satu) orang utusan Pemerintah dan 4 (empat) tokoh masyarakat, seharusnya diubah. Anggota DKPP harus dibuka secara umum dengan syarat minimal seperti persyaratan menjadi anggota KPU atau Bawaslu, bukan perwakilan yang ditunjuk oleh lembaga pemerintahan. Esensi 4 (empat) tokoh masyarakat perlu diperjelas, karena tidak asal main tunjuk seseorang, karena 4 (empat) tokoh masyarakat ini kelihatnya banyak dimainkan oleh petualang politik.
Untuk itu pengawasan terhadap DKPP multak diperlukan, agar tidak terjadi “absolute power” dalam pelaksanaan pemilu. Peranan dan fungsi DKPP sebagai peradilan etika penyelenggara pemilu harus dipertahankan akantetapi diadakan perubahan secara menyeluruh. Pemilu yang jujur dan adil dan berdasarkan azas-azas pemilu yang demokratis merupakan tujuan akhir dari penyelenggaraan pemilu, ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dapat diminimalisir.     


Rabu, 17 April 2013

DINAMIKA POLITIK



KODIFIKASI HUKUM PENYELENGGARA PEMILU
Oleh :
DIDIK ARIYANTO

Demokrasi tumbuh dan berkembang, telah menghasilkan para legislator yang piawai dalam sebuah dunia perpolitikan. Lahirnya para legislator ini adalah perwujudan dari pemilihan umum yang dilaksanakan secara jurdil dan demokratis. Pasca reformasi 1998 telah menghasilkan 3 (tiga) kali pemilu anggota legislatif, perubahan aturan main dalam pemilu anggota legislatif silih berganti. UU No 3 Tahun 1999 sampai dengan  UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Legislatif menjadikan bukti perubahan aturan main. Pasang surut perubahan Undang-undang Pemilu Anggota Legislatif merupakan produk hukum yang didasarkan pada pengalaman demokrasi di lapangan, bukan pengalaman suatu teori politik secara empiris. Legislator dan Eksekutif pasca reformasi, sebenarnya telah memainkan peranannya terhadap pengamanan kekuasaan yang telah didapatkannya pasca reformasi. Sistem Kepartaian dan penyelenggara pemilu yang belum sepenuhnya mapan, mengakibatkan produk hukum tentang pemilu Anggota Legislatif,  lebih bersifat pragmatis kelompok bukan berdasarkan atas basis ideologis. Hal ini dirasakan dengan munculnya Partai Politik baru, pada setiap kali diadakan sebuah even pemilu, kita bisa melihat tumbuh kembang dan pasang surut Partai Politik dari Pasca Reformasi  lihat tabel 1.1:
 
No
Partai Politik Peserta Pemilu 1999 s.d 2014
Tahun 1999
Tahun 2004
Tahun 2009
Tahun 2014
1
PIB
PNI Marhenisme
P. Hanura
P. NasDem
2
PKNI
PBSD
PKPB
PKB
3
PNI
PBB
PPPI
PKS
4
PADI
P. Merdeka
PPRN
PDI Perjuangan
5
PKMI
PPP
P. Gerindra
P. Golkar
6
PUI
PDK
P. Barnas
P. Gerindra
7
PKU
PIB
PKPI
P. Demokrat
8
P. Masyumi Baru
PNBK
PKS
PAN
9
PPP
P. Demokrat
PAN
PPP
10
PSII
PKPI
PPIB
P. Hanura
11
PDI Perjuangan
PPDI
P. Kedaulatan
P. Damai Aceh
12
P. Abul Yatama
PPNUI
PPD
P. Nasional Aceh
13
PKM
PAN
PKB
P. Aceh
14
PDKB
PKPB
PPI
PBB
15
PAN
PKB
PNI Marhenisme
PKPI
16
PRD
PKS
PDP

17
PSII 1905
PBR
PAKAR Perjuangan

18
P. Katholik Demokrat
PDI Perjuangan
PMB

19
PPR
PDS
PPDI

20
P. Rakyat Indonesia
P. Golkar
PDK

21
PPII Masyumi
P. Patriot Pancasila
P. Republik Nusantara

22
PBB
PSI
P. Pelopor

23
PSP
PPD
P. Golkar

24
P. Keadilan
P. Pelopor
PPP

25
PNU

PDS

26
PNI-Front Marhenisme

PNBKI

27
P. IPK Indonesia

PBB

28
P. Republik

PDI Perjuangan

29
P. Islam Demokrat

PBR

30
PNI-Massa Marhaen

P. Patriot

31
PMRB

P. Demokrat

32
PDI

PDKI

33
P. Golkar

PIS

34
P. Persatuan

PKNU

35
PKB

PAAS

36
PUDI

P. Daulat Aceh

37
P. Buruh Nasional

P. SIRA

38
P. MKGR

PRA

39
P. Daulat Rakyat

P. Aceh

40
P. Cinta Damai

P. Aceh Bersatu

41
PKP

P. Merdeka

42
P. SPSI

PPNUI

43
PNB Indonesia

PSI

44
P. Bhenika Tunggal Ika

P. Buruh

45
PSUN Indonesia



46
P. Nasional Demokrat



47
PUMI



48
PPI




Gambaran tumbuh kembang dan pasang surut Partai Politik Peserta Pemilu menunjukan pola transisional demokrasi masih berlangsung sampai dengan hari ini. Undang-undang politik di Indonesia ternyata tidak dikodifikasikan secara komperhesif, mengakibatkan rambu-rambu pengaman demokrasi tidak berjalan secara on the track. Mekanisme politik di indonesia telah melakukan kanibalisasi undang-undang demi kepentingan kekuasaan serta mempertahankan status quo. Proses pemaksaan pemilu berdasarkan Sistem Pemilu yang campuran mengakibatkan berjalanan politik berdasarkan atas posisi transaksional politik dan kepentingan politik sesaat.
Ketidakonsistenan dalam pembangunan politik di Indonesia terutama permasalahan pemilu menjadikan kodifikasi atas hukum penyelenggra pemilu semakin jauh dari harapan. Pola serampangan penyelenggaraan pemilu sudah nyata terlihat. Pada Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Parpol ternyata juga tidak menyelesaikan persoalan, persoalan penetapan suara sah pemilu 1999 secara nasional. Telah dilakukan penolakan sebagian wakil parpol yang duduk dalam KPU, penolakan tersebut hanya didasarkan oleh rasa kesal dan apriori terhadap Pemerintahan BJ Habibie. UU No 3 Tahun 1999 sebagai payung hukum terhadap pelaksanaan Pemilu Anggota Legislatif Tahun 1999, ternyata tidak menjadikan pedoman bagi Parpol Peserta Pemilu 1999. Perubahan untuk menjadikan Lembaga Pemilihan Umum yang memiliki intergritas dan independen telah melahirkan produk amademan UUD 1945 tercantum pada Pasal 22 E angka (5) “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Yang kemudian pada pemilu legislatif tahun 2004 telah menerapkan Pasal 22E angka (5), dengan dipilihnya komisioner yang berasal dari kalangan akademisi dan pengiat Pemilu. Pelaksanaan Pemilu 2004 telah menjadi catatan sejarah baru bangsa Indonesia, dengan diawalinya penyelenggaran Pemilu Anggota Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan pertama kalinya. Hal ini merupakan suatu loncatan demokrasi yang sangat cepat dan evolusioner, mengakibatkan kredibilitas dan intergitas KPU  menjadi taruhan politik.  Cerita KPU sebagai lembaga super power dalam penyelenggara Pemilu tahun 2004 dan berjalan aman dan sukses, berakhir dengan kasus Korupsi yang dilakukan oleh Komisioner KPU.
Komisioner KPU pada penyenggaraan Pemilu 2009 tidak pengin terjebak pada “jebakan Batman” oleh para konspirator politik. Kemudian para komisioner KPU beserta Kesekjenan KPU berkerja sangat hati-hati terhadap segala pengadaan barang dan jasa Pemilu 2009. Walaupun cercaan dan tudingan di alamatkan oleh para Komisioner KPU Penyelenggara Pemilu 2009, ternyata pelaksanaan Pemilu 2009 tidak menimbulkan gejolak yang sangat berarti. Dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 juga telah terbentuk Badan Pengawas Pemilu yang bersifat permanen yang berkedudukan di Ibukota Negara, sesuai dengan UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Tujuan dibentuknya bawaslu sebagai  pengawasan terhadap Pemilu, menurut para Legislator mutlak diperlukan, guna mengamankan jalannya pemilu. Suatu kenyataan yang tidak dipungkiri lahir sekaligus hadirnya Bawaslu  menjadikan “matahari kembar” dalam sistem pengelolaan Pemilu di Indonesia. Ketidak percayaan terhadap KPU oleh para penguasa politik serta aktivis pemilu menjadikan suatu kerumitan dalam  sistem pengelolaan Pemilu. Kasus-kasus pelanggaran pemilu tahun 2009, lebih banyak diselesaikan dengan hukum adat, ketimbang mengunakan hukum-hukum positif. Misalnya : Kasus money politik pada waktu hari pemunggutan suara  yang terjadi di daerah pemilihan Jawa Tengah 3 ternyata tidaklanjuti oleh panwaslu setempat, walaupun money politik tersebut dilakukan secara terang-terangan. Posisi pengawas pemilu dalam UU No 22 Tahun 2007, hanya melaporkan kepada Pihak Kepolisian jikalau perbuatan hukuml tersebut masuk ranah pidana pemilu sedangkan tindakan administratif melaporkan kepada KPU sesuai tingkatannya.
Peristiwa pelaksanaan Pemilu 2009, menjadikan ketidakpercayaan lagi oleh para Legislator yang duduk di Parlemen. Perubahan UU No 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara Pemilu semakin kencang disuarakan. Kesalahan Komsioner beserta sekretaris jenderal KPU beserta jajaran ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak dapat diadili secara administartif, merupakan alasan politis yang disuarakan oleh para Legislator. Munculnya UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah memecah kembali tata kelola penyelenggara Pemilu, lahirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP sebagai lembaga eksekutor / peradilan etika pemilu telah menjadikan sebuah “tiga matahari” dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebuah teori penyelenggaraan Pemilu yang memisahkan pembagian kekuasaan: (1) KPU sebagai pelaksana teknis penyelenggara pemilu; (2) Bawaslu sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan Pemilu; dan (3) DKPP sebagai lembaga pengadilan etika terhadap KPU dan Bawaslu. Kasus tidak diterimannya keputusan Adjukasi terhadap Sengketa KPU dengan PKPI oleh KPU, mengakibatkan pada Komsioner KPU Penyelenggara Pemilu 2014 harus menghadiri sidang DKPP.

Perlunya Kodifikasi Hukum    
Polemik penyelenggara Pemilu di Indonesia dari tahun 1999 s.d 2014, sampai saat ini belum menemukan titik temu yang pasti. Kepastian hukum terhadap pelaksanaan Pemilu semakin kalah oleh tekanan politik. Hukum penyelenggara Pemilu, ditinjau dari presfektif Indonesia sebagai negara hukum, tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang pasti. Pergantian Peraturan mengenai kepemiluan ternyata bertabrakan dengan aturan-aturan hukum lainnya, misalnya: mengenai penyelesaian sengketa pemilu mengenai Parpol sebagai Calon peserta pemilu 2014 di Bawaslu dan diteruskan ke PTTUN, yang memenangkan gugatan dari PBB dan PKPI ternyata para hakim PTTUN belum sepenuhnya menguasai mengenai Hukum Adminitrasi Pemilu, bahkan dalam Putusan PTTUN tentang sengketa KPU dengan PKPI. Majelis Hakim membuat putusan yang ultra petita, dimana KPU sebagai tergugat tidak diperbolehkan untuk melakukan kasasi.
Sebuah ironi dari kasus di atas, ketidaktahuan Majelis Hakim PPTUN telah menghasilkan produk hukum tidak dapat dimengerti oleh masyarakat. Pembentukan peradilan add hoc khusus pemilu, harus dilakukan secepatnya. Revisi UU No 8 Tahun 2012 harus diberlakukan terutama mengenai penyelesaian kasus-kasus sengketa dalam Pemilihan Umum. Kasus penyelesaian adjukasi di bawaslu serta peradilan umum dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, ternyata masih menyisakan persoalan dalam sengketa pemilu. Para hakim ternyata tidak melihat subtasi hukum administrasi pemilu, kasus sengketa PPTUN tetang PKPI dan PBB harus menjadi pelajaran berharga bagi legislator untuk merevisi UU No 8 Tahun 2012.  

Desain waktu pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu begitu ketat, tidak dibarengi dengan peraturan Penyelenggara Pemilu yang memiliki kepastian hukum. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu harus diterapkan sebagai solusi memecahkan kebuntuan hukum mengenai penyelenggaran pemilu, kodifikasi hukum penyelenggara pemilu harus diatur secara rigid dan komperhensif mengenai hak dan kewajiban antara pelaksana penyelenggara Pemilu, Pengawas Pemilu, Pemantau Pemilu, Peserta Pemilu, Peradilan Pemilu, Dewan etik pemilu  dan masyarakat secara keseluruhan. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu harus di sinergikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga produk yang dihasilkan oleh penyelenggara Pemilu yaitu KPU dapat diterima seluruh masyarakat secara luas. Tekanan politik atas nama hak konstitusional warga negara, tidak bisa dijadikan landasan untuk mengubah kodifikasi penyelenggara pemilu. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu tidak seenaknya diubah-ubah oleh selera penguasa atau parpol pemenang pemilu. Dimasa mendatang kondifikasi hukum penyelenggara pemilu sebagai landasan pelaksanaan demokrasi yang sehat dan bermartabat menjadi tolak ukur bangsa Indonesia yang sejahtera dan bermartabat.