JURNAL HUKUM DAN POLITIK
PENCERAHAAN UNTUK ILMU PENGETAHUAN
Senin, 09 Januari 2017
Kamis, 18 April 2013
DINAMIKA POLITIK
TELAAH ETIKA
PENYELENGARA PEMILU
DALAM SIDANG DKPP
Oleh :
DIDIK ARIYANTO
Kasus sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP
mengenai pelanggaran Komisioner KPU atas dugaan pelanggaran etik penyelenggara
pemilu sebagaimana dilaporkan Ketua
Umum dan Sekjen Partai Republik, PPRN, Partai Buruh, Partai Pekerja dan
Pengusaha Indonesia (PPPI), Eliza Nurhilma selaku kuasa Partai Kedaulatan, dan
Partai Marhaenisme, merupakan contoh kasus yang menimpa para komisioner KPU
saat ini. Sidang tersebut belum memutuskan secara final dan mengikat,
akantetapi publik sudah menilai lain mengenai persidangan tersebut. DKPP
sepenuhnya telah memiliki otoritas kekuasaan yang besar terhadap benar dan
tidaknya tindakan Komisioner KPU dalam pelaksanaan Pemilu. Penjelmaan DKPP sebagai
manifestasi suatu peradilan etika, memiliki pandang subyektifitas terhadap
persoalan perbuatan hukum terhadap penyelenggara pemilu. Kekuatan DKPP dapat dipersamakan dengan Komisi
Yudisial, cuman Komisi Yudisial bertugas menjaga martabat dan kewibawaan Hakim.
Ranah kelakukan dan etika hakim didalam dan diluar persidangan suatu perkara
yang menjadi subtansi dasar Komisi Yudisial.
Sebenarnya
lahirnya DKPP, karena ketidakpercayaan sebagian anggota DPR terhadap kinerja
Komisioner KPU penyelenggara Pemilu 2009. Ketidakpercayaan tersebut disebabkan
ada ruang-ruang gelap yang diciptakan oleh Komisioner KPU penyelenggara Pemilu
2009, misalnya: hengkangnya Andi Nurpati ke Partai Demokrat, pasca pemilu 2009.
Dewan Kehormatan pada saat itu tidak bisa berbuat banyak, hanya membuat suatu
putusan rekomendasi tentang andi Nurpati. Peristiwa inilah menjadi pelajaran
berharga bagi Legislator untuk mengubah UU No 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggara pemilu. Peranan DKPP di masukkan secara eksterm melalui UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pada pasal 109 s.d 115. Tugas dan kewenangan DKPP tercantum dalam pasal
111 ayat (3) dan (4), tugas DKPP antara lain : a. menerima pengaduan dan/atau
laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelengara pemilu; b.
Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan
dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
c. menetapkan putusan; dan d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait
untuk ditindaklanjuti. Sedangkan Kewenangan DKPP yaitu : a. Memanggil
Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan; b. Memanggil pelapor, saksi dan/atau
pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk
dimintai dokumen atau bukti lain; c. memberikan sanksi kepada Penyelenggara
Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Peranan
dan tugas DKPP yang cukup besar dalam proses penyelenggara pemilu untuk berbuat
sesuai kode etik penyelengara pemilu. Penyelenggara KPU tidaklah cukup beserta
bawahannya akan tetapi juga Bawaslu beserta jajarannya. Penyelenggaran pemilu
tidak hanya pelaksanaan teknis administrasi saja akantetpi juga pengawasan yang
dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya. Putusan DKPP bersifat final dan
mengikat, hal ini tercermin dalam Pasal 112 angka (12) UU No 15 Tahun 2011.
Putusan final dan mengikat ini menjadikan momok yang menakutkan bagi
penyelenggara pemilu. Proses acara persidangan di DKPP sendiri mirip pada
persidangan umum lainnya, ada unsur pengadu dan teradu. Pengadu ini bisa masyarakat umum, peserta
pemilu, pemantau dan/atau pihak-pihak yang di rugikan dalam penyelenggara
pemilu, sedangkan pihak teradu adalah penyelenggara pemilu. Dalam konsepsi DKPP
dalam acara persidangan DKPP lebih banyak mengali bukti pelanggaran yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Alat Bukti pelanggaran tersebut bisa
secara lisan maupun tulisan atau data Teknologi Informasi lainnya yang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan.
Putusan
DKPP merupakan produk hukum etika penyelenggara pemilu, yang bersifat
administratif dan tidak memutup kemungkinan pelanggaran etika tersebut menjurus
pada tindak pidana. Hal ini sesuai Pasal 111 ayat (3) “ d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak
terkait untuk ditindaklanjuti.” Pihak aparat penegak hukum, bisa masuk dalam
pelanggaran yang dilakukan Penyelenggara Pemilu asalkan Putusan DKPP dalam amar
putusannya menyebutkan “memerintahkan aparat penegak hukum untuk melakukan
proses penyelidikan atau penyidikan lebihlanjut.” Begitu besar otoritas DKPP
dalam proses pelaksanaan Pemilu, DKPP telah menjadi lembaga yudikatif baru
dibidang penyelenggaran pemilu. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
penyelenggara pemilu dapat dilakukan proses persidangan DKPP. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Komisioner KPU baik sebagai pelaksana pemilu pada setiap
tahapan dapat dilakukan pengaduan pada
tingkat persidangan DKPP.
Pegawasan terhadap DKPP
Jika yang
melanggar etik adalah Penyelenggara Pemilu jelas urusannya dengan persidangan
di DKPP, kemudian Anggota DKPP melakukan kesalahan dalam putusannya. Siapa yang
harus mengawasi DKPP? Dalam UU No 15 Tahun 2011 tidak mengatur secara rigid dan
komperhesif mengenai siapa pengawas tingkah laku dan etika para anggota DKPP.
DKPP telah menjadi lembaga “superpower” dari sistem penyelenggaraan Pemilu.
Putusan DKPP dapat melakukan putusan secara ultra petita, jika para anggota
DKPP menemukan bukti-bukti yang dinyakini kuat diluar tuduhan oleh pengadu.
Otoritas DKPP dan pengawasan yang nyaris tidak ada, membuat setiap putusan
persidangan DKPP tergantung pada subyektifitas anggota majelis dewan
kehormatan. Rambu-rambu peraturan kode etik yang dibuat bersama oleh KPU,
Bawaslu dan DKPP merupakan dasar
konstitusional DKPP dalam melakukan proses persidangan etika.
Pengawasan
DKPP selayaknya harus bisa diterapkan, ketentuan mengenai pengawas DKPP didalam UU No 15 Tahun
2011, harus dimasukkan. Sehingga jalanannya proses pengawasan terhadap DKPP
harus sejalanan semangat membangun penyelenggaran pemilu yang “fair play”.
Pengawas terhadap DKPP harus dibentuk antara unsur pemerintah, unsur pengiat
pemilu dan unsur yudikatif. kinerja DKPP harus dapat dipertanggungjawabkan
lewat publik. Telaah fungsi dan kewenangan DKPP harus diperjelas dalam ruang
lingkup peranan dan fungsi DKPP secara komperhensif. Anggota DKPP yang terdiri
dari 1 (satu) orang dari unsur KPU, 1 (satu) orang unsur Bawaslu, 1 (satu)
orang utusan Pemerintah dan 4 (empat) tokoh masyarakat, seharusnya diubah. Anggota
DKPP harus dibuka secara umum dengan syarat minimal seperti persyaratan menjadi
anggota KPU atau Bawaslu, bukan perwakilan yang ditunjuk oleh lembaga
pemerintahan. Esensi 4 (empat) tokoh masyarakat perlu diperjelas, karena tidak
asal main tunjuk seseorang, karena 4 (empat) tokoh masyarakat ini kelihatnya
banyak dimainkan oleh petualang politik.
Untuk itu
pengawasan terhadap DKPP multak diperlukan, agar tidak terjadi “absolute power”
dalam pelaksanaan pemilu. Peranan dan fungsi DKPP sebagai peradilan etika
penyelenggara pemilu harus dipertahankan akantetapi diadakan perubahan secara
menyeluruh. Pemilu yang jujur dan adil dan berdasarkan azas-azas pemilu yang
demokratis merupakan tujuan akhir dari penyelenggaraan pemilu, ketidakpercayaan
terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dapat diminimalisir.
Rabu, 17 April 2013
DINAMIKA POLITIK
KODIFIKASI HUKUM PENYELENGGARA
PEMILU
Oleh :
DIDIK ARIYANTO
Demokrasi tumbuh dan berkembang, telah menghasilkan
para legislator yang piawai dalam sebuah dunia perpolitikan. Lahirnya para
legislator ini adalah perwujudan dari pemilihan umum yang dilaksanakan secara
jurdil dan demokratis. Pasca reformasi 1998 telah menghasilkan 3 (tiga) kali
pemilu anggota legislatif, perubahan aturan main dalam pemilu anggota
legislatif silih berganti. UU No 3 Tahun 1999 sampai dengan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
Legislatif menjadikan bukti perubahan aturan main. Pasang surut perubahan
Undang-undang Pemilu Anggota Legislatif merupakan produk hukum yang didasarkan
pada pengalaman demokrasi di lapangan, bukan pengalaman suatu teori politik
secara empiris. Legislator dan Eksekutif pasca reformasi, sebenarnya telah
memainkan peranannya terhadap pengamanan kekuasaan yang telah didapatkannya
pasca reformasi. Sistem Kepartaian dan penyelenggara pemilu yang belum
sepenuhnya mapan, mengakibatkan produk hukum tentang pemilu Anggota Legislatif,
lebih bersifat pragmatis kelompok bukan
berdasarkan atas basis ideologis. Hal ini dirasakan dengan munculnya Partai Politik
baru, pada setiap kali diadakan sebuah even pemilu, kita bisa melihat tumbuh
kembang dan pasang surut Partai Politik dari Pasca Reformasi lihat tabel 1.1:
No
|
Partai Politik Peserta Pemilu 1999
s.d 2014
|
|||
Tahun 1999
|
Tahun 2004
|
Tahun 2009
|
Tahun 2014
|
|
1
|
PIB
|
PNI Marhenisme
|
P. Hanura
|
P. NasDem
|
2
|
PKNI
|
PBSD
|
PKPB
|
PKB
|
3
|
PNI
|
PBB
|
PPPI
|
PKS
|
4
|
PADI
|
P. Merdeka
|
PPRN
|
PDI Perjuangan
|
5
|
PKMI
|
PPP
|
P. Gerindra
|
P. Golkar
|
6
|
PUI
|
PDK
|
P. Barnas
|
P. Gerindra
|
7
|
PKU
|
PIB
|
PKPI
|
P. Demokrat
|
8
|
P. Masyumi Baru
|
PNBK
|
PKS
|
PAN
|
9
|
PPP
|
P. Demokrat
|
PAN
|
PPP
|
10
|
PSII
|
PKPI
|
PPIB
|
P. Hanura
|
11
|
PDI Perjuangan
|
PPDI
|
P. Kedaulatan
|
P. Damai Aceh
|
12
|
P. Abul Yatama
|
PPNUI
|
PPD
|
P. Nasional Aceh
|
13
|
PKM
|
PAN
|
PKB
|
P. Aceh
|
14
|
PDKB
|
PKPB
|
PPI
|
PBB
|
15
|
PAN
|
PKB
|
PNI Marhenisme
|
PKPI
|
16
|
PRD
|
PKS
|
PDP
|
|
17
|
PSII 1905
|
PBR
|
PAKAR Perjuangan
|
|
18
|
P. Katholik Demokrat
|
PDI Perjuangan
|
PMB
|
|
19
|
PPR
|
PDS
|
PPDI
|
|
20
|
P. Rakyat Indonesia
|
P. Golkar
|
PDK
|
|
21
|
PPII Masyumi
|
P. Patriot Pancasila
|
P. Republik Nusantara
|
|
22
|
PBB
|
PSI
|
P. Pelopor
|
|
23
|
PSP
|
PPD
|
P. Golkar
|
|
24
|
P. Keadilan
|
P. Pelopor
|
PPP
|
|
25
|
PNU
|
|
PDS
|
|
26
|
PNI-Front Marhenisme
|
|
PNBKI
|
|
27
|
P. IPK Indonesia
|
|
PBB
|
|
28
|
P. Republik
|
|
PDI Perjuangan
|
|
29
|
P. Islam Demokrat
|
|
PBR
|
|
30
|
PNI-Massa Marhaen
|
|
P. Patriot
|
|
31
|
PMRB
|
|
P. Demokrat
|
|
32
|
PDI
|
|
PDKI
|
|
33
|
P. Golkar
|
|
PIS
|
|
34
|
P. Persatuan
|
|
PKNU
|
|
35
|
PKB
|
|
PAAS
|
|
36
|
PUDI
|
|
P. Daulat Aceh
|
|
37
|
P. Buruh Nasional
|
|
P. SIRA
|
|
38
|
P. MKGR
|
|
PRA
|
|
39
|
P. Daulat Rakyat
|
|
P. Aceh
|
|
40
|
P. Cinta Damai
|
|
P. Aceh Bersatu
|
|
41
|
PKP
|
|
P. Merdeka
|
|
42
|
P. SPSI
|
|
PPNUI
|
|
43
|
PNB Indonesia
|
|
PSI
|
|
44
|
P. Bhenika Tunggal
Ika
|
|
P. Buruh
|
|
45
|
PSUN Indonesia
|
|
|
|
46
|
P. Nasional Demokrat
|
|
|
|
47
|
PUMI
|
|
|
|
48
|
PPI
|
|
|
|
Gambaran tumbuh kembang dan pasang surut Partai
Politik Peserta Pemilu menunjukan pola transisional demokrasi masih berlangsung
sampai dengan hari ini. Undang-undang politik di Indonesia ternyata tidak
dikodifikasikan secara komperhesif, mengakibatkan rambu-rambu pengaman
demokrasi tidak berjalan secara on the track. Mekanisme politik di indonesia
telah melakukan kanibalisasi undang-undang demi kepentingan kekuasaan serta
mempertahankan status quo. Proses pemaksaan pemilu berdasarkan Sistem Pemilu
yang campuran mengakibatkan berjalanan politik berdasarkan atas posisi
transaksional politik dan kepentingan politik sesaat.
Ketidakonsistenan dalam pembangunan politik di
Indonesia terutama permasalahan pemilu menjadikan kodifikasi atas hukum penyelenggra
pemilu semakin jauh dari harapan. Pola serampangan penyelenggaraan pemilu sudah
nyata terlihat. Pada Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Parpol ternyata juga
tidak menyelesaikan persoalan, persoalan penetapan suara sah pemilu 1999 secara
nasional. Telah dilakukan penolakan sebagian wakil parpol yang duduk dalam KPU,
penolakan tersebut hanya didasarkan oleh rasa kesal dan apriori terhadap
Pemerintahan BJ Habibie. UU No 3 Tahun 1999 sebagai payung hukum terhadap
pelaksanaan Pemilu Anggota Legislatif Tahun 1999, ternyata tidak menjadikan
pedoman bagi Parpol Peserta Pemilu 1999. Perubahan untuk menjadikan Lembaga
Pemilihan Umum yang memiliki intergritas dan independen telah melahirkan produk
amademan UUD 1945 tercantum pada Pasal 22 E angka (5) “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.” Yang kemudian pada pemilu legislatif tahun 2004 telah menerapkan
Pasal 22E angka (5), dengan dipilihnya komisioner yang berasal dari kalangan
akademisi dan pengiat Pemilu. Pelaksanaan Pemilu 2004 telah menjadi catatan sejarah
baru bangsa Indonesia, dengan diawalinya penyelenggaran Pemilu Anggota
Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan pertama
kalinya. Hal ini merupakan suatu loncatan demokrasi yang sangat cepat dan
evolusioner, mengakibatkan kredibilitas dan intergitas KPU menjadi taruhan politik. Cerita KPU sebagai lembaga super power dalam
penyelenggara Pemilu tahun 2004 dan berjalan aman dan sukses, berakhir dengan
kasus Korupsi yang dilakukan oleh Komisioner KPU.
Komisioner KPU pada penyenggaraan Pemilu 2009 tidak
pengin terjebak pada “jebakan Batman” oleh para konspirator politik. Kemudian para
komisioner KPU beserta Kesekjenan KPU berkerja sangat hati-hati terhadap segala
pengadaan barang dan jasa Pemilu 2009. Walaupun cercaan dan tudingan di
alamatkan oleh para Komisioner KPU Penyelenggara Pemilu 2009, ternyata
pelaksanaan Pemilu 2009 tidak menimbulkan gejolak yang sangat berarti. Dalam penyelenggaraan
Pemilu 2009 juga telah terbentuk Badan Pengawas Pemilu yang bersifat permanen
yang berkedudukan di Ibukota Negara, sesuai dengan UU No 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu. Tujuan dibentuknya bawaslu sebagai pengawasan terhadap Pemilu, menurut para
Legislator mutlak diperlukan, guna mengamankan jalannya pemilu. Suatu kenyataan
yang tidak dipungkiri lahir sekaligus hadirnya Bawaslu menjadikan “matahari kembar” dalam sistem
pengelolaan Pemilu di Indonesia. Ketidak percayaan terhadap KPU oleh para
penguasa politik serta aktivis pemilu menjadikan suatu kerumitan dalam sistem pengelolaan Pemilu. Kasus-kasus
pelanggaran pemilu tahun 2009, lebih banyak diselesaikan dengan hukum adat,
ketimbang mengunakan hukum-hukum positif. Misalnya : Kasus money politik pada
waktu hari pemunggutan suara yang
terjadi di daerah pemilihan Jawa Tengah 3 ternyata tidaklanjuti oleh panwaslu
setempat, walaupun money politik tersebut dilakukan secara terang-terangan.
Posisi pengawas pemilu dalam UU No 22 Tahun 2007, hanya melaporkan kepada Pihak
Kepolisian jikalau perbuatan hukuml tersebut masuk ranah pidana pemilu
sedangkan tindakan administratif melaporkan kepada KPU sesuai tingkatannya.
Peristiwa pelaksanaan Pemilu 2009, menjadikan
ketidakpercayaan lagi oleh para Legislator yang duduk di Parlemen. Perubahan UU
No 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara Pemilu semakin kencang disuarakan. Kesalahan
Komsioner beserta sekretaris jenderal KPU beserta jajaran ditingkat Propinsi
dan Kabupaten/Kota tidak dapat diadili secara administartif, merupakan alasan
politis yang disuarakan oleh para Legislator. Munculnya UU No 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu telah memecah kembali tata kelola penyelenggara
Pemilu, lahirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP sebagai lembaga
eksekutor / peradilan etika pemilu telah menjadikan sebuah “tiga matahari”
dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebuah teori penyelenggaraan Pemilu yang
memisahkan pembagian kekuasaan: (1) KPU sebagai pelaksana teknis penyelenggara
pemilu; (2) Bawaslu sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan Pemilu; dan (3)
DKPP sebagai lembaga pengadilan etika terhadap KPU dan Bawaslu. Kasus tidak
diterimannya keputusan Adjukasi terhadap Sengketa KPU dengan PKPI oleh KPU,
mengakibatkan pada Komsioner KPU Penyelenggara Pemilu 2014 harus menghadiri
sidang DKPP.
Perlunya Kodifikasi Hukum
Polemik penyelenggara Pemilu di Indonesia dari tahun
1999 s.d 2014, sampai saat ini belum menemukan titik temu yang pasti. Kepastian
hukum terhadap pelaksanaan Pemilu semakin kalah oleh tekanan politik. Hukum
penyelenggara Pemilu, ditinjau dari presfektif Indonesia sebagai negara hukum,
tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang pasti. Pergantian Peraturan
mengenai kepemiluan ternyata bertabrakan dengan aturan-aturan hukum lainnya,
misalnya: mengenai penyelesaian sengketa pemilu mengenai Parpol sebagai Calon
peserta pemilu 2014 di Bawaslu dan diteruskan ke PTTUN, yang memenangkan
gugatan dari PBB dan PKPI ternyata para hakim PTTUN belum sepenuhnya menguasai
mengenai Hukum Adminitrasi Pemilu, bahkan dalam Putusan PTTUN tentang sengketa
KPU dengan PKPI. Majelis Hakim membuat putusan yang ultra petita, dimana KPU
sebagai tergugat tidak diperbolehkan untuk melakukan kasasi.
Sebuah ironi dari kasus di atas, ketidaktahuan
Majelis Hakim PPTUN telah menghasilkan produk hukum tidak dapat dimengerti oleh
masyarakat. Pembentukan peradilan add hoc khusus pemilu, harus dilakukan
secepatnya. Revisi UU No 8 Tahun 2012 harus diberlakukan terutama mengenai
penyelesaian kasus-kasus sengketa dalam Pemilihan Umum. Kasus penyelesaian
adjukasi di bawaslu serta peradilan umum dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara,
ternyata masih menyisakan persoalan dalam sengketa pemilu. Para hakim ternyata
tidak melihat subtasi hukum administrasi pemilu, kasus sengketa PPTUN tetang
PKPI dan PBB harus menjadi pelajaran berharga bagi legislator untuk merevisi UU
No 8 Tahun 2012.
Desain waktu pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu begitu
ketat, tidak dibarengi dengan peraturan Penyelenggara Pemilu yang memiliki
kepastian hukum. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu harus diterapkan sebagai
solusi memecahkan kebuntuan hukum mengenai penyelenggaran pemilu, kodifikasi
hukum penyelenggara pemilu harus diatur secara rigid dan komperhensif mengenai
hak dan kewajiban antara pelaksana penyelenggara Pemilu, Pengawas Pemilu,
Pemantau Pemilu, Peserta Pemilu, Peradilan Pemilu, Dewan etik pemilu dan masyarakat secara keseluruhan. Kodifikasi
hukum penyelenggara pemilu harus di sinergikan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya sehingga produk yang dihasilkan oleh penyelenggara Pemilu yaitu KPU dapat
diterima seluruh masyarakat secara luas. Tekanan politik atas nama hak
konstitusional warga negara, tidak bisa dijadikan landasan untuk mengubah kodifikasi
penyelenggara pemilu. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu tidak seenaknya
diubah-ubah oleh selera penguasa atau parpol pemenang pemilu. Dimasa mendatang kondifikasi
hukum penyelenggara pemilu sebagai landasan pelaksanaan demokrasi yang sehat
dan bermartabat menjadi tolak ukur bangsa Indonesia yang sejahtera dan
bermartabat.
Langganan:
Postingan (Atom)