Rabu, 29 Juni 2011

TIDAK BERFUNGSINYA IDEOLOGI PARPOL BERIMBAS PADA

TIDAK BERFUNGSINYA IDEOLOGI PARPOL BERIMBAS PADA
PEMILU KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Oleh :
DIDIK ARIYANTO, SH, M.Kn

Dalam pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, banyak sekali Partai Politik yang ikut serta  sebagai Peserta Pemilu Tahun 2009, dengan jumlah sebanyak 44 Partai Politik. Hal ini melonjak secara signifikan, bila dibandingkan Pelaksanaan Pemilu  DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada Tahun 2004 yang hanya di ikuti oleh 24  Partai Politik Konstestan Pemilu. Pemilu menurut sebagaian besar kalangan politikus, hanya sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan serta menguasai aset-aset ekonomi. Tidak hayal bila 1 (satu) Tahun menjelang diadakan Pemilu oleh KPU, banyak sekali Partai-Partai Politik yang baru bermunculan bak “jamur tumbuh pada musim penghujan”, karena hanya prinsip pragmatis-lah yang muncul pada para pendiri partai politik. Partai Politik yang ingin berkompetisi dalam Pemilu, hanya sebagai alat yang efektif untuk memperoleh popularitas dan kekuasaan  semata bagi segelitir elit pendiri Partai Politik, tidak ada kata untuk memperjuangkan kepentingan atau aspirasi rakyat.
Bila secara hukum menurut Pasal 2 ayat (2) huruf b UU No 2  Tahun 2008 tentang Partai Politik adalah Memperjuangkan Cita-cita Partai Politik dalam Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara “ Kata memperjuangkan Cita-cita Partai Politik....”  menurut penafsiran kita adalah perjuangan cita-cita Partai Politik berlandaskan pada ideologi Partai Politik, tentunya Partai Politik dibentuk atas kepakatan warga negara Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak warga negara Indonesia untuk memperoleh suatu kesejahteraan di dalam suatu wadah, misalnya: Kelompok Masyarakat yang terdiri atas Petani-Petani ingin memiliki cita-cita mensejahterakan Kaum Petani berupa : harga pupuk yang murah, pendidikan bagi kaum petani, bibit yang murah dan lain-lain, maka Kelompok masyarakat yang terdiri atas Kaum Petani tersebut berhak mendirikan Partai Petani Indonesia, tentunya dipersyaratkan dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik.
Dari perjuangan cita-cita Partai Politik, maka harus mendasari Partai Politik tersebut untuk berkerja secara efektif dan efesien. Bila kita menenggok sejarah kepemiluan di Indonesia, maka pada Tahun 1955 diselenggarakan Pemilu yang pertama kali setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut para ahli politik dan pengamat politik Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang paling demokratis serta ideologis, karena pertarungan politik pada masa itu lebih dikedepankan ideologis. Misalnya : Pada  waktu itu PNI selalu memperjuangkan marhenismenya, Masyumi memperjuangkan akidah-akidah islam, NU memperjuangkan basis-basis islam tradisional serta PKI memperjuangkan kaum buruh dan tani. Dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh Partai Politik Perseta Pemilu Tahun 1955, lebih mengedepankan Garis Perjuangan program kerja, visi dan misi Partai Politik ketimbang figur atau popularitas para Caleg, hal ini disebabkan kuatnya ideologi yang ditanamkan oleh Partai Politik kepada tiap-tiap kader-kader Partai Politik.
Ideologi partai politik mulai luntur ketika, pada Tahun 1983 pada masa orde baru, Partai Politik harus berazas tunggal yaitu Pancasila. Azas tunggal yang di kumandangkan oleh penguasa Orde Baru hanya sebagai kedok untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Hal ini merupakan pengebiran Partai Politik dalam mewujudkan suatu cita-citanya. Tidak pelak Partai Politik menjadi jongos bagi penguasa Orde Baru saat itu, ruang gerak Partai Politik sangat dibatasi, sedangkan yang bergerak bebas pada waktu itu hanyalah Golongan Karya, sebab Golongan Karya merupakan alat politik penguasa Orde Baru. Setelah Pemerintahan Orde Baru runtuh, maka Pemerintahan B.J Habibie membuka kran yang seluas-luasnya untuk terbentuknya Partai Politik baru dengan aneka ragam Ideologi, misalnya : Partai Persatuan Pembangunan kembali pada Idelogi Keislamannya, Partai Keadilan beridelogikan Keislaman, Partai Rakyat Demokratik beridelogikan Marxisme Leninisme, Partai Buruh Nasional yang berideologikan Sosial Demokrat, PDI Perjuangan berideologikan Pancasila dan Partai-Partai lainnya. Kemudian Partai-Partai tersebut, dapat mengikuti Pemilu yang di demokratis di Tahun 1999.
Pada masa Pemilu Legislatif Tahun 2004, Partai Politik mulai melakukan konsolidasi  Politik dengan masuk pada tataran Ideologi yang Pragmatis, karena nilai-nilai Ideologi Partai Politik pada Pemilu Tahun 1999 ternyata tidak dapat di terima pada pasar politik. Hal ini disebabkan nilai figur dan ketokohan yang lebih banyak diterima dalam masyarakat. Munculnya tokoh Megawati Sukarnoputri, Gus Dus, Amien Rais, Akbar Tanjung dan Yusril Izha Mahendra, telah memberikan kontribusi politik baru ketimbang ideologi. Partai Rakyat Demokratik yang diusung oleh Budiman Sujatmiko ternyata tidak laku di Pasar Politik, hal ini disebabkan oleh stigma dalam masyarakat Indonesia pada masa orde baru tetap melekat dalam ingatan, karena Partai Rakyat Demokratik disinyalir metaformosis  aliran Partai Komunis baru. Dalam dekade antara 1999 s/d 2004, merupakan masa transisi demokrasi, dimana kekuatan-kekuatan kapitalis atau kekuatan pasar muncul secara tiba-tiba. Pencitraan seorang tokoh politik menjadi kekuatan yang utama ketimbang aliran ideologis, ketokohan seseorang pemimpin Partai Politik apabila pencitraannya buruk maka akan berdampak buruk bagi kelangsungan Partai Politik itu sendiri.
 Pemilu Legilatif 2004 merupakan era peniadaan ideologi partai dan pindah ke dalam kekuatan pasar yang lebih cenderung melihat nilai-nilai ketokohan Partai Politik, Partai Politik hanya dimainkan oleh pelaku-pelaku politik yang lebih mengedepankan hukum pasar. Pelaku-pelaku politik adalah orang-orang yang menguasai kapital dan media, karena mereka melakukan peranan yang ganda dalam setiap event politik. Kita bisa melihat bagaimana pertarungan Munas Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar yang diadakan pada 16 Desember 2004 di Bali, secara mengejutkan Akbar Tanjung sebagai incumbent ternyata bisa dikalahkan oleh Jusuf Kalla yang pada waktu itu adalah Pengusaha sekaligus Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2004 s/d 2009.  Jusuf Kalla juga memiliki Pelaku-pelaku Politik di balik layar yang berjuang mati-matian merebut untuk kursi Ketua Umum DPP Partai Golkar dari tangan Akbar Tanjung. Dimana barisan idealis Akbar Tanjung ternyata kalah dengan kekuatan Pencitraan Jusuf Kalla, telah di dukung penuh oleh kapital dan media.
Tidaklah mustahil bila Pemilu Legislatif Tahun 2009, Partai Politik sudah sangat jauh dari nilai-nilai Ideologis sebuah Partai Politik, Partai Demokrat sebagai Partai Pemenang Pemilu Legilatif Tahun 2009, ternyata tidak lepas nama besar Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini menambah keyakinan penulis, bahwa Ketokohan merupakan isu sentral politik yang sedang di bangun Partai Politik. Pemilu Legislatif  Tahun 2009 telah membawa perubahan dalam sistem kepemiluan yang mengunakan Sistem Proposional Terbuka, dimana setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengunaan suara terbanyak, tidak lagi menggunakan parameter nomor urut dalam Daftar Calon Tetap. Hal ini telah mengiring para Caleg berlomba-lomba mempromosikan diri ketimbang promosi Partai Politik, yang pada akhirnya menjadi preseden buruk bagi perkembangan Partai Politik itu sendiri. Para Caleg pun bersaing antar kandidat Caleg di dalam Partai nya sendiri, ironis memang Partai Politik tidak memiliki fungsi yang kuat dalam menawarkan Garis Perjuangan, Program Kerja, Visi dan Misi Partai Politik kepada masyarakat pemilih, lewat para Calegnya
Bangunan Partai Politik ternyata banyak yang keropos, lihat saja Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif 2009 yang tidak memperoleh kursi di DPR mulai kehilangan eksistensinya. Mereka banyak yang tidak lagi melakukan konsolidasi internal di dalam Partainya, bahkan ada yang menutup rapat-rapat Kantornya. Ironis lagi Partai Politik yang berada ditingkatan Kabupaten/Kota, banyak Partai Politik yang kantornya tidak jelas, bahkan kepengurusan sudah bubar jalan, gambaran ini membuktikan bahwa Partai Politik hanya di dirikan menjelang Pemilu saja, sehingga ada pameo dalam masyarakat dengan julukan Partai Politik “ Misbar” sudah gerimis maka bubarlah pertunjukan layar tancapnya, atau sudah selesai Pemilu maka Partai Politik itu bubar secara sendirinya. Nanti kalau mendekati penyelenggaran pemilu, akan dibentuk kembali.
Partai Politik dalam Pemilukada
Dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Partai Politik dan Gabungan Partai Politik dapat mengajukan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  sesuai dalam Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu Partai Politik dan Gabungan Partai Politik  harus memperoleh Kursi sekurang-kurangnya 15 % ( lima belas  persen) dan memperoleh akumulasi suara sah sekurang-kurangnya 15 % ( lima belas persen) dalam Pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan. Aturan dalam Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, sebenarnya hanya memandang batasan kuantitas dukungan partai politik terhadap pengajuan Bakal Calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, tidak masuk pada bangunan ideologis Partai Politik. Partai politik diberikan kebebasan untuk berkoalisi kepada Partai Politik siapa saja, biarpun tidak memiliki kesamaan idelogis.  Rekrutment Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang datang dari Partai Politik ternyata tidak memandang kedekatan ideologis dari seorang Bakal  Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, akantetapi bagaimana Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki sejumlah kapital yang harus di berikan kepada Pengurus Partai Politik tingkat Pusat. Dimana ada Kapital, maka  selembar surat rekomendasi akan lebih cepat keluar. Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga dapat membeli Lembaga-lembaga Survai Politik untuk memperkuat lahirnya surat rekomendasi dari Pengurus Pusat Partai Politik. Suatu kenyataan yang harus dilalui oleh Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk menjadi Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Sementara Kasus  Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri Tahun 2010, Pasangan Incumbent H Sumaryoto-H Begug Poernomosidi pasangan nomor satu yang diusung PDIP dan PKS yang membawa bendera Koalisi Merah Putih, ternyata memiliki perbedaan ideologis, dimana PDIP dan PKS. Sebenarnya kedua Partai Politik tersebut tidak memiliki karakter ideologis yang sama PDIP lebih cenderung pada Partai Nasionalis, sedangkan PKS memiliki Karakter Partai Islam yang Moderat. Pasangan Incumbent H Sumaryoto-H Begug Poernomosidi, yang diusung PDIP dan PKS menunjukkan kepentingan Partai Politik sesaat dan jangka pendek. Pada intinya hanya merebut kekuasaan, bukan mengimplentasikan garis perjuangan Partai, PKS hanya memandang H Begug Poernomosidi adalah seorang bupati incumbent yang memiliki amunisi politik yang sangat besar, bila dibandingkan dengan calon-calon lain. Seharusnya PKS harus berkoalisi PPP, karena PPP merupakan Partai Islam yang memiliki karakteristik sama dengan PKS. Ternyata PPP dalam Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri mengusung Pasangan Danar Rahmanto-Yuli Handoko, bersama PAN dan Partai Gerindra.
Kasus Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri  Tahun 2010 merupakan contoh yang buruk bagi perkembangan Partai Politik kedepan, dimana hakekatnya Partai Politik sebagai wadah untuk melakukan pengkaderan bagi anggota atau kader Partai Politik untuk pemimpin masa depan, ternyata hanya sebagai sebuah kendaraan yang siap dijual kepada siapa saja yang akan membelinya. Partai Politik seharusnya sebagai mesin politik yang tangguh, dimana kader Partai Politik sebagai obyek vital mesin politik. Selayaknya pengkaderan Partai Politik dapat dimulai pada level bawah, dimana seorang ketua ranting dapat mencalonkan menjadi ketua Partai tingkat Kecamatan,kemudian dapat mencalonkan menjadi Ketua tingkat Kabupaten dan seterusnya. Hingga kader Partai Politik tersebut dapat diuji menjadi calon pejabat publik dalam hal ini Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, jadi jenjang karier politik dari kader Partai Politik semakin jelas. 
Kader partai Politik dapat mengimplikasikan  ideologi Partai Politik, dimana seorang Kader Partai sudah di gembleng untuk memahami ideologi Partai politik. Karena jiwa dan semangat kader Partai Politik teruji ketika terjun dalam politik praktis, dimana ruang-ruang idealisme untuk memperjuangkan Partai akan menjadi semangat melakukan kerja membesarkan nama Partai Politik. Kader yang bertarung dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah akan lebih siap ketimbang Bakal calon Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah yang diambilkan orang luar dari Partai Politik. Apabila Bakal  calon Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah diambilkan dari luar Kader Partai Politik tersebut, maka akan menjadi suatu friksi di kemudian hari.
Pertarungan dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seharusnya dapat dimaknai pertarungan ideologi, karena dalam Ideologi Partai Politik memuat suatu Garis Perjuangan, Program Kerja, Visi dan Misi Partai Politik harus diimplentasikan oleh  Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini akan membawa keterikatan antara Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Partai Politik yang mengusungnya secara terus-menerus, Partai Politik tidak sekedar Kendaraan Politik, akan tetapi subyek politik yang berkerjasama antara Partai Politik dengan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga Partai Politik dapat menghantarkan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menjadi calon terpilih dan menduduki kursi Pemerintahan. Dan dalam Pemerintahan antara Partai Politik yang mengusung Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dapat secara bersama-sama bekerja mewujudkan Garis Perjuangan, Program Kerja, Visi dan Misi Partai Politik serta kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya.

Solusi nilai ideologi parpol dalam Pemilukada
Dalam pertanyaan kita, apakah perlu ideologi Partai Politik dalam setiap event pemilu, khususnya Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah padahal tujuan partai politik sekarang ini adalah memperoleh kekuasaan. Memang bila dibandingkan Penyelenggaran Pemilu pada tahun 1955, sangat berbeda jauh dengan Pemilu sekarang ini, karena substansi demokrasi yang di bangun Pemerintahan sekarang ini memiliki kecenderungan membangun dinamika demokrasi seluas-luasnya dalam konteks prosedural. Dinamika demokrasi seluas-luasnya dalam konteks prosedural memiliki arti bahwa kebebasan hak pilih warga negara di dasarkan atas norma-norma prosedural yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif. Partai Politik sebagai salah satu instrumen demokrasi, hanya memberikan nilai-nilai terhadap norma-norma prosedural dalam ruang lingkup lembaga legislatif 
Bila kita melihat Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka suara mayoritaslah yang memangkan pertarungan tersebut, karena secara prosedural Komisi Pemilihan Umum telah melakukan koridor-koridor prosedur demokrasi. Bila kita melihat penyelenggaran Pemilukada sejak tahun 2005 s/d sekarang ini, nilai ideologi Partai Politik ternyata  sama sekali tidak tampak. Hal ini membuktikan bahwa nilai ideologi Partai Politik tidak memiliki bobot yang jelas dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga untuk mewujudkan kualitas bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam demokrasi prosedural yang langsung ternyata masih jauh dari impian. Karena nilai-nilai idealisme bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah terbeli dengan nilai-nilai material, dimana Partai Politik hanya membuka  jalan bagi bakal calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memiliki finansial yang kuat, ketimbang nilai intelektual.
Melihat Kondisi politik yang berkembang pada saat ini, dengan tidak berfungsinya Ideologi Partai Politik sebagai awal berpijaknya Partai Politik dalam merubah suatu bangunan sistem demokrasi, Maka setidak-tidaknya ada pencerahan Partai Politik  dalam setiap event Politik, termasuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu : pertama  Partai Politik harus mampu membangun ideologi kepartaian, dengan mengali potensi dalam nilai-nilai demokrasi yang sudah ada, tidak hanya berorentasi kepada kekuasaan semata akan tetapi memberikan pendidikan partai politik kepada kader-kader Partai Politik serta masyarakat secara luas, kedua Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus dari kader-kader terbaik yang telah teruji dalam proses pengkaderan partai politik dari tingkat level bawah sampai level atas (tidak ada kader instant) sehingga sudah benar-benar berpengalaman memahani Garis Perjuangan, program kerja, visi dan misi Partai Politik sehingga Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat mengemplentasikan Garis Perjuangan, Program Kerja, Visi dan Misi Partai Politik kedalam Pemerintahannya, jikakalau Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah terpilih dalam Pemilu Kepala daerah dan Wakil kepala Daerah, ketiga Partai Politik Harus mampu memberikan kesadaran politik kepada masyakat dengan meninggalkan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh fatsoen politik, misalnya: politik menghalalkan segala cara demi memperoleh kekuasaan belaka atau melakukan tindakan “politik uang” dalam setiap event pemilu termasuk Pemilu Kepala daerah dan Wakil kepala Daerah, Keempat Partai Politik dapat menghindari transaksional politik menghadapi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala, jika kominten Partai Politik sudah memiliki garis perjuangan, program kerja, visi dan visi yang jelas dalam menghadapi setiap event Politik, termasuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kelima Dalam Tubuh Partai Politik yang telah memiliki nilai-nilai Ideologis  harus  tetap mengedepankan Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilar Negara yang paling utama dalam pembangunan nilai-nilai demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar