Senin, 27 Juni 2011

PENGADILAN KHUSUS PEMILU

PERLUKAH DIBENTUK PENGADILAN KHUSUS PEMILU
DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh :
Didik Ariyanto, SH *)

Dalam Penyelenggaran Pemilu Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden Tahun 2009, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak Peserta Pemilu dan Pihak Penyelenggara Pemilu serta Pengawas Pemilu yang tidak bisa ditindaklanjuti oleh sistem Peradilan Umum. Dikarenakan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang unggul, didalam lingkup peradilan kita. Aparat penegak hukum kita mulai dari Kepolisian, kejaksaan dan Para hakim yang belum mengetahui secara komperhensif mengenai peraturan-peraturan kepemiluan serta ketatanegaraan sehingga dalam beberapa kasus pelanggaran pemilu tidak dapat diselesaikan secara  baik, misalnya: Kasus dugaan politik uang (money politik) yang dilakukan caleg DPR dari Partai Demokrat (PD) Dapil x Gresik Lamongan, Antonius Hariyanto dihentikan oleh Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Penghentian itu karena tidak adanya cukup bukti.
Hal ini menunjukkan, bahwa kurangsiapan aparat penegak hukum, dalam mendalami kasus-kasus pelanggaran Pemilu, serta tidak adanya hukum acara khusus tindak pidana Pemilu, mengakibatkan bahwa aturan-aturan didalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu  Anggota DPR, DPD dan DPRD, tidak dapat digunakan secara baik oleh aparat Penegak Hukum yang tergabung dalam Gakumdu. Terkadang alasan klasik aparat penegak hukum menjadikan jalan pembenaran hukum, misalnya : kurangnya cukup barang bukti dalam mengungkapkan tindak pidana politik uang dalam penyelenggaran Pemilu, dikarenakan kurang adanya pemahaman mengenai ketentuan Pasal 274 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, padahal tindak pidana politik uang sangat jelas dan terang benderang hadir dihadapan kita. Sungguh ironis dalam Pasal 274 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan “ Pelaksana Kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak mengunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 6 juta dan paling banyak Rp. 24 juta.”  Dari penafsiran Pasal 274 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, secara normatif, setiap tindak pidana politik uang, maka Pelaku dalam hal ini Pelaksana Kampanye dapat dikenai pidana penjara serta denda. Tinggal bagaimana langkah-langkah penegak hukum dalam melakukan mekanisme pengumpulan barang bukti sebagai alat bukti di persidangan.  Pelaku tindak pidana politik uang tidak terfokus kepada pelaku di lapangan, seharusnya juga aktor intelektual termasuk peserta Pemilu.
Lemahnya penegakan hukum serta tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lain, mengakibatkan pelaku tindak pidana pemilu secara bebas melenggang tanpa ada rasa berdosa. Peranan pengawas pemilu, dinilai sangat lemah sekali, karena Panitia Pengawas Pemilu hanya sebagai “Kantor Pos” sebagai lembaga pengirim permasalahan-permasalahan Pemilu kepada Aparat Penegak hukum dan Komisi Pemilihan Umum, apabila jenis pelanggarannya ternyata administrasi kepemiluan. Peranan yang mandul  yang dimiliki oleh Panitia Pengawas Pemilu inilah, yang  dimainkan para peserta pemilu untuk melakukan trik dan intrik untuk melakukan perbuataan melawan hukum tindak pidana pemilu. Hingga Pengawas Pemilu hanya bisa menulis perkara pemilu diatas kertas dan tidak dapat menindaklanjuti perkara tindak pidana pemilu ke pengadilan. Permasalahan tindak pidana pemilu, ternyata banyak sekali mengantung di Panitia Pengawas Pemilu, karena banyak tidak lanjuti. Di karenakan tugas dan kewenangan Panitia Pengawas Pemilu hanya dibatasi waktu disebabkan bersifat add hoc, sehingga permasalahan tindak pidana pemilu hilang begitu saja ditelan oleh waktu
Kasus-kasus tindak pidana pemilu yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh Pengadilan Negeri, mengakibatkan para pencari keadilan beramai-ramai melakukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dengan menambahkan dalil-dalil yang diajukan para pemohon dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, dengan menyebutkan dalil sebagai berikut “ ....tindakan politik uang yang dilakukan oleh caleg A dari Partai Demokrat pada daerah pemilihan 1...”Hal ini di latar belakangi oleh ketidakpercayaan para pencari keadilan pada  Aparat Penegak Hukum  serta sistem peradilan umum yang kurang profesional diwilayah hukumnya.


Pemikiran Pengadilan Khusus Pemilu
Alangkah eloknya gagasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, memasukkan draf Pengadilan Khusus Pemilu kedalam Rancangan Revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, wacana pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu harus kita dorong terus lewat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pemasalahan-Permasalahan Tindak Pidana Pemilu yang sekarang ini terjadi tidak diselesaikan begitu saja di Mahkamah Konstitusi, karena bukan ranah hukum Mahkamah Konstitusi menyelesaikan Tindak Pidana Pemilu.
  Akantetapi dapat diselesaikan di Pengadilan Umum, dalam hal ini Pengadilan Negeri. Melihat beban berat Pengadilan Negeri dalam menangani perkara pidana dan perdata, seyogyanya dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu yang bersifat add hoc di bawah kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentunya dengan format sistem peradilan yang Lex Specialis.  Dengan melihat format sistem Pengadilan add hoc Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan Hukum Peradilan Khusus Pemilu dapat dibentuk ditingkatan Kabupaten/Kota khusus untuk tingkat pertama sedangkan untuk tingkat banding dapat dibentuk ditingkat Ibukota Propinsi
Jika Pengadilan Khusus Pemilu dapat dilaksanakan, Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi, seharusnya dapat  menyiapkan hakim-hakim Pengadilan Khusus Pemilu yang handal   dan memiliki kompetensi dalam bidang kepemiluan dan hukum adminitrasi pemilu. Hakim-hakim tersebut dapat diambilkan dari hakim karier dan non karier, untuk hakim karier dapat diambilkan dari hakim-hakim peradilan umum yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Mahkamah Agung sedangkan hakim non karier harus dipersyaratkan khusus misalnya : Sarjana Hukum dan Magister Hukum, berumur sekurang-kurangnya 35 Tahun, serta memiliki pengalaman dibidang kepemiluan sekurang-kurangnya 10 Tahun. Kemudian hakim-hakim non karier tersebut harus mendapat sertifikasi Pendidikan dan Latihan dari Mahkamah Agung, untuk hakim non karier memiliki masa tugas selama 5 (lima) Tahun dan dapat dipilih kembali satu periode.
Disamping penyiapan hakim pengadilan khusus Pemilu, juga sangat penting adalah Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu, dimana Pengadilan Khusus Pemilu hanya memutuskan sengketa tindak pidana pemilu pada proses tahapan, program dan jadwal waktu oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, tidak memutuskan persengketaan hasil pemilu. Dalam Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu proses penyelesaiannya lebih cepat, mudah dan murah  dibandingkan dengan perkara lain. Dengan tetap memberikan azas kepastian hukum, kepada para pihak yang sedang berperkara dalam penyelenggaran Pemilu
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) harus dipersingkat hanya 15 Hari untuk masa pengajuan dakwaan ke persidangan oleh jaksa penuntut umum cukuplah 7 hari dan proses persidangan (dari pembacaan dakwaan, pembuktian dan penuntutan serta putusan)  hanyalah 20 hari, jaksa penuntut umum yang ada haruslah bersifat khusus, dimana jaksa-jaksa yang telah mendapat pendidikan dan latihan mengenai penanganan perkara tindak pidana pemilu. Untuk putusan perkara tindak pidana pemilu haruslah bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya. Karena tindak pidana pemilu perlakuannya khusus, maka  hukum acaranya khusus pula.
Kemudian timbul suatu pertanyaan, bagaimana khusus untuk administrasi kepemiluan, misalnya: KPU Kabupaten melakukan penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif, kemudian ada di lain pihak memprotes keputusan KPU Kabupaten tersebut mengenai salah satu Caleg yang menurut bersangkutan ijazah yang digunakan palsu. Tapi KPU Kabupaten sebelumnya sudah mengklarifikasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten dan ternyata ijazah tersebut benar-benar asli, akantetapi dari pihak memprotes tersebut tidak puas, kemudian dari persoalan tersebut, apakah ranah hukum Pengadilan Khusus Pemilu mengadili hal tersebut diatas? Padahal sah dan tidak sahnya suatu ijazah yang menentukan hanya Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bisa saja peranan dan wewenang Pengadilan Khusus Pemilu, ditambah mengenai persoalan-persoalan administratif Pemilu, karena Pengadilan Khusus Pemilu berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan kepemiluan termasuk persoalan administratif Pemilu. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut SEMA  RI No 11 Tahun 2010 seyogyanya dapat diubah, ketika Pengadilan Khusus Pemilu diberlakukan.  Jika SEMA RI No 11 Tahun 2010 masih berlaku, maka akan terjadi tumpang tindih dalam kewenangan penanganan kasus kepemiluan, dimana akan terjadi dua institusi hukum yang akan menangani kasus pemilu yang sama. Yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Khusus Pemilu.
Jadi andaikata Rancangan Revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, ditetapkan menjadi Undang-undang, maka Pengadilan Khusus Pemilu dapat menjadi acuan kepada peserta pemilu serta pencari keadilan lainnya sebagai alternatif institusi hukum, disamping Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Pemutus Perkara Perselisihan Hasil Pemilu. Karena tidak semua sengketa Pemilu dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi akantetapi Pengadilan Khusus Pemilu akan menjadi solusi tepat.

Pengadilan Khusus Pemilu dalam sistem demokrasi 
Sistem demokrasi tanpa ada kepastian hukum, akan menimbulkan anarkisme demokrasi. Anarkisme demokrasi akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan berakibat perang saudara, oleh karena itu demokrasi harus memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasi.  Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan sebagai salah satu prasyarat sebagai Negara Demokrasi, maka rule of law harus di kedepankan. Tidak ada salahnya jika Pengadilan Khusus Pemilu merupakan  bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi, disamping Mahkamah Konstitusi
Pengadilan khusus Pemilu sebenarnya salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya adalah  “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu 
Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan Pengadilan Khusus Pemilu adalah memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan Republik Indonesia sekarang ini, Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi lebih banyak mengemban tugas pada Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, dimana sengketa perolehan Hasil Pemilihan Umum yang disengketakan oleh Partai Politik dengan Komisi Pemilihan Umum atau Peserta Pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum, substansi dari Perselisihan Hasil Suara Pemilu hanya ruang lingkup hasil perolehan suara Pemilu bukan proses tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaran Pemilu. Menurut pendapat penulis kurang tepat jika proses tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaran Pemilu dikaitkan dengan Perolehan Hasil Suara Pemilu, dimana fatwa  Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, terkadang membuat Putusan ultra petita  yang akan memperburuk dinamika kehidupan berdemokrasi. Misalnya dalam Kasus : Putusan Pembatalan Hasil Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Selatan Tahun 2008 terpilih oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dikarenakan syarat calon Bupati yang memenangkan Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Selatan Tahun 2008, mengenai  “syarat calon Bupati mengenai tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari pengadilan negeri” dianggap oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi batal demi hukum, karena menurut pemeriksaan saksi-saksi dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, calon Bupati tersebut pernah di pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun di LP Cipinang Jakarta atas kasus pembunuhan.  
Hal ini mengakibatkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlebihan, untuk itu Mahkamah Konstitusi terlalu masuk kedalam perkara sengketa Perselisihan hasil Pemilu, dimana substasi hukumnya di belokkan terlalu jauh oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh Karena itu diperlukan Pengadilan Khusus Pemilu yang dalam penanganan hukumnya berbeda dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana Pengadilan Pemilu dapat memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik indonesia. Oleh karena itu menurut hemat penulis, Pertama solusi Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu. Kedua dengan dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi  maka para pencari keadilan yang berasal di daerah luar jawa, tidak berbondong-bondong ke Ibukota Jakarta, akantetapi cukup di Ibukota Kabupaten/kota atau Propinsi yang akan menjadikan Pengadilan Khusus Pemilu lebih efektif dan efisien dalam mengadili kasus-kasus Pemilu, Ketiga Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akantetapi dilihat investasi hukum jangka panjang, maka Pengadilan Khusus Pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar  lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, keempat  Pengadilan Khusus Pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar