Dalam Pasal 33 UUD 1945 “ Negara menguasai bumi,
air dan kekayaan yang terkadung di dalamnya, dan digunakan sebesar-besarnya
untuk hajat hidup bangsa Indonesia.” Suatu kenyataan yang tidak terbantahkan,
bila negara mengelola dan mengatur sumber-sumber energi termasuk minyak dan gas
Bumi untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 ternyata indah dalam
bahasanya tapi pahit dalam aplikasinya, sumber-sumber energi yang terkandung di
dalam perut bumi indonesia hanya untuk kepentingan kapitalis global. Freeport
yang notabene perusahan kacangan pada era 1960, sekarang menjadi perusahaan
raksasa dunia dengan mengeruk pertambangan emas dan tembaga di pengunungan
jayawijaya, pemerintah Indonesia hanya dapat royalti dari penjualan emas dan
tembaga menyedihkan. Belum eksplorasi minyak bumi dan gas yang dilakukan oleh
perusahan asing, misalnya exxon mobile yang menguasai eksplorasi blok cepu,
dimana Pemerintah Indonesia hanya mendapat sedikit jatah dari pengeboran minyak
tersebut.
Pada intinya Negara hanya di kibuli oleh penguasa
kapitalis, kenaikan harga minyak premium dan solar serta Tarif Dasar Listrik.
Bentuk penjajahan model baru, kapitalis global telah menusuk rasa kemanusian
dan keadilan. Energi yang ada dimuka negara ini, telah menjadikan sumber
konflik baru, rakyatlah yang dijadikan korban. Negara ini terasa tidak berdaya
oleh ulah para cukong-cukong yang memiliki modal besar, harga dipermainkan
dengan kondisi dan situasi yang menguntungkan para cukong-cukong itu. Tidaklah salah
jika sumber energi dalam perut bumi Indonesia, berupa Minyak dan Gas 20 tahun
mendatang akan habis. Masyarakat kita sejak orde baru didik untuk selalu
bersikap konsumtif. Lihat saja pertumbuhan kendaraan roda dua dan empat sangat
tidak terkendali, dan angkutan massal
yang sangat buruk mengakibatkan borosnya konsumsi atas bahan bakar minyak. Pertumbuhan
ekonomi yang dilihat dari sektor konsumsi mengakibatkan pertumbuhan yang tidak
sehat dalam neraca APBN kita, kedepan.
Persoalan Politik BBM ternyata dilakukan oleh SBY
pada pemerintahan jilid pertama, di tahun 2005 terjadi lonjakan harga minyak
dunia yang memaksa SBY untuk menaikkan harga minyak dengan kisaran Rp 5000,-
kemudian selang satu tahun 2006 menaikan lagi menjadi Rp 6.000,-. Sebenarnya kenaikan
Rp 6.000,- seharusnya SBY tidak menurunkan harga minyak lagi. Tapi karena pada
Tahun 2008 merupakan tahun pertarungan politik, SBY dengan gegabah menurunkan
kembali harga BBM sampai 2 (dua) kali menjadi Rp. 4500,- sampai sekarang. Dengan
alasan pencitraan SBY yang membela rakyat kecil, bahkan dalam kampanyenya SBY
juga mengungkapkan bahwa rakyat akan terbiasa dengan harga BBM yang naik turun.
Politik SBY yang selalu memainkan harga BBM sebenarnya ditentang banyak
kalangan termasuk penulis, soalnya harga BBM di indonesia tidak dapat disamakan
dengan negara-negara pengekspor minyak. Seperti : Saudi Arabia, Venezuella,
qatar dan kuwait. Cadangan Minyak Bumi Indonesia sebenarnya sangat menipis, ini
ditandai oleh keluarnya Indonesia dari OPEC.
Pemerintahan SBY seharusnya cerdas melihat fenomena
kenaikan harga minyak dunia, dengan melihat sisi kemanusiaan. Harga BBM naik
maka tingkat inflansi akan terus naik, ini fakta yang dihadapi rakyat,
rakyatlah yang akan menanggung segala beban hidup, ketika BBM akan naik.
Kejahatan yang dilakukan oleh para cukong-cukong minyak ternyata tidak pernah
menyentuh rasa kemanusiaan rakyat Indonesia, mereka hanya melihat keuntungan
yang sebesar-besarnya. Seharusnya SBY harus secara arif mengunakan nilai-nilai
kemanusiaan dalam melihat fenomena harga minyak dunia secara santun, bukan
sebuah nilai pencitraan yang akan merugikan rakyat banyak kedepan.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar