Kamis, 20 Oktober 2011

RUMITNYA KINERJA PENYELENGGARA PEMILU KEDEPAN

RUMITNYA KINERJA PENYELENGGARA PEMILU KEDEPAN
Oleh
Didik Ariyanto, SH, M.Kn

Selasa 20 September 2011 Rancangan Pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu sudah disahkan antara DPR dan Pemerintah melalui sidang Paripurna DPR RI. Perubahan UU No 22 Tahun 2007 masih menjadi titik krusial dalam persyaratan untuk menjadi Penyelenggara Pemilu. Partai Politik tentunya punya agenda politik tersediri, menyangkut kemenangnya pada Pemilu Legislatif pada Tahun 2014. Hal ini yang menjadi alotnya pembahasan Pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007. Partai Politik menginginkan komposisi keanggotaan Penyelenggara Pemilu yang setidak-tidaknya dapat diisi oleh kader Partai Politik. Tarik menarik kepentingan politik antara DPR dan Pemerintah semakin terasa,  persyaratan Calon Anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota, Adapun yang menjadi pembahasan yang alot adalah pada Pasal 11 huruf i mengenai  syarat calon menjadi anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, bila dibandingkan dengan Pasal 18 huruf i UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu  lihat tabel 1.1  
Tabel 1.1
Perbedaan Persyaratan Calon menjadi
anggota KPU, KPU Propinsi KPU Kabupaten/Kota

UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang lama
UU Penyelenggara Pemilu terbaru
Pasal 18 huruf i
“Tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan.”

Pasal 11 Huruf i
“Mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Politik, Jabatan Politik, Jabatan di Pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah pada saat mendaftar sebagai calon

Pemerintah yang didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, sebetulnya menentang pengisian Anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan Partai Politik. Alasan utama adalah 1) “tidaklah mungkin seorang pemain merangkap menjadi wasit” tidaklah mungkin peserta pemilu sekaligus menjadi penyelenggara Pemilu; 2) Kalaupun Kader Partai Politik yang akan mencalonkan diri menjadi anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus mengundurkan terlebih dahulu, sekurang-kurangnya jangka waktu 5 (lima) Tahun sebelumnya, jadi ada masa jeda bagi kader Partai politik tersebut; dan 3) Bahwa pengalaman pada Pemilu Legislatif tahun 1999, KPU tidak dapat menetapkan hasil Pemilu Legislatif tahun 1999, dikarenakan tarik menarik kepentingan politik oleh Partai Politik yang duduk sebagai wakil di KPU hingga Presiden BJ Habibie menetapkan hasil Pemilu 1999. Dari gambaran tersebut Pemerintah yang didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, memiliki pandangan KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus diisi oleh orang-orang yang terbebas dari Partai Politik, artinya KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota, harus benar-benar independen dan imparsial.   
 Adapun Partai Politik yang bersikeras memasukkan kadernya sebagai Anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PKB, PPP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Adapaun alasan yang paling krusial adalah 1) Pada waktu Pemilu Legilatif tahun 1999 Penyelenggara Pemilu dalam hal ini, KPU terdiri dari Pemerintah, wakil dari ormas dan Wakil dari Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif tahun 1999 dan merupakan Pemilu Legislatif yang demokratis sejak tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto; 2) Pada pasca penyelenggaran Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 dan 2009, anggota KPU saudara Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati  masuk kedalam kepengurusan DPP Partai Demokrat, yang diyakini oleh beberapa Partai Politk (Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PKB, PPP, Partai Hanura dan Partai Gerindra) KPU ada main mata dengan Partai Demokrat; dan 3) bahwa kader Partai Politik dapat menduduki semua lembaga tinggi negara asalkan setelah menduduki kader Partai Politik tersebut mengundurkan diri, misalnya : Gayus Lumbun yang berasal dari PDI Perjuangan, yang sekarang menduduki Hakim Agung pada Mahkamah Agung, setelah terpilih beliau mengundurkan diri dari kader PDI Perjuangan dan keanggotaan DPR RI  kemudian Mahfud MD, Akil Mocktar dan Hamdan Zoelva yang menduduki Hakim Mahkamah Kostitusi, dulu keduanya dari kader PKB, Partai Demokrat dan PBB.   
Tidaklah mengherankan kedua argumen tersebut, dibangun atas dasar suatu kepentingan politik untuk Pemilu tahun 2014. Pertarungan politik untuk menentukan siapa yang duduk Penyelenggara Pemilu (KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota) semakin nyaring terdengar. Penyelenggara Pemilu (KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota) memiliki peranan yang startegis dalam menentukan kebijakan penyelenggaran Pemilu tahun 2014. Ingatkan kita kembali pada masa Pemilu 2004, dimana KPU diisi oleh tokoh-tokoh akademisi yang memiliki keilmuan politik dan pengalaman di bidang kepemiluan: Nazaruddin, Mulyana W Kusuma, Chusnul Mariah dan Ramlan Surbakti, ternyata pada akhir masa pemilu Tahun 2004, Nazaruddin dan Mulyana W Kusuma  harus berhadapan dengan kasus tindak pidana korupsi. Kemudian Pemilu Tahun 2009 yang diisi oleh Abdul Hafiz, I Gusti Putu Artha,Andi Nurpati (keluar KPU tahun 2010 dan masuk kepengurusan DPP Partai Demokrat digantikan Saut Sirait), Samsul Bahri, Sri Nuryanti, Abdul Aziz dan Endang Sulastri, ternyata saudari Andi Nurpati tersandung surat palsu dari MK yang sampai sekarang belum jelas penanganan di Kepolisian Republik Indonesia.

Struktur Penyelenggara Pemilu
Dalam Undang-undang Penyelenggara Pemilu terbaru ada 3 (tiga)  srtuktur kelembagaan Penyelenggara Pemilu ditingkat Pusat, yang antara lain : KPU, Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sedangkan KPU memiliki struktur pada ditingkat KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemunggutan Suara (PPS) ditingkat Kelurahan/Desa, Kelompok Penyelenggara Pemunggutan Suara (KPPS),kemudian Bawaslu memiliki struktur tingkat Propinsi disebut Bawaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/kota, Panwaslu Kecamatan dan Panitia Pengawas Lapangan (PPL) tingkat desa/kelurahan   yang memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda-beda,
 Pada Pasal 1 angka 6 “ Komisi Pemilihan Umum yang disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat Nasional, Tetap, Mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu “. KPU memiliki struktur permanen sampai tingkat Kabupaten/Kota ( KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota) serta lembaga add hoc (sementara) PPK, PPS, PPLN, KPPS dan KPPSLN. Sedangkan untuk Pengawas Pemilu, dibentuklah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diatur dalam Pasal  1 angka 16 “ Badan Pengawas Pemilu selanjutnya disingkat Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaran pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia “ di dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang lama Bawaslu bersifat permanen ditingkat pusat. Akantetapi pada UU penyelenggara pemilu yang baru Bawaslu juga memiliki struktur permanen di tingkat Propinsi yang disebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Propinsi diatur pada pasal 1 angka 17  “Badan Pengawas Pemilu Propinsi selanjutnya disingkat Bawaslu Propinsi adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaran pemilu di wilayah Propinsi “ Bawaslu juga memiliki struktur lembaga Add Hoc ditingkat Kabupaten/Kota yang dinamakan Panwaslu Kabupaten/Kota, di kecamatan dinamakan Panwaslu Kecamatan dan ditingkat Desa/Kelurahan dinamakan Panitia Pengawas Lapangan (PPL)
Kemudian ada lembaga baru yaitu DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang diatur dalam Pasal 1 angka 22 “ Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu selajutnya disinngkat DKPP adalah bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan penyelenggara pemilu “. Pada pasal 109 ayat (1) DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibukota negara. Keanggotaan DKPP diatur dalam pasal 109 ayat (4) DKPP sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri :
a.      1 (satu) Unsur dari KPU;
b.      1 (satu) Unsur dari Bawaslu;
c.       1 (satu) unsur dari masing-masing Partai Politik yang ada di DPR;
d.      1 (satu) Unsur dari Pemerintah;
e.    4 (empat) orang tokoh dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau 5 (lima) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan Partai Politik yang ada di DPR berjumlah genap.
Adapun pada Pasal 109 huruf c, “1 (satu) Unsur dari masing-masing Partai Politik yang ada di DPR “ merupakan wakil Partai Politik yang duduk di DPR, bila sekarang ada 9 (sembilan ) Partai Politik yang lolos pada Pemilu Legislatif 2009 antara lain : 1) Partai Demokrat, 2) Partai Golkar, 3) PDI Perjuangan, 4) PKS, 5) PAN, 6) PPP, 7) PKB, 8) Partai Gerindra, 10) Partai Hanura. Sedangkan tugas DKPP diatur dalam Pasal 111 ayat (3) Tugas DKPP meliputi :
a.  Menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu;
b.   Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara Pemilu;
c.       Menetapkan Putusan; dan
d.  Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti;
Dari tugas DKPP yang sangat besar, kewenangan dari DKPP juga sangat besar yang diatur dalam Pasal 11 ayat (4) “DKPP mempunyai wewenang untuk :
  1. Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk meberikan penjelasan dan pembelaan;
  2. Memanggil pelapor, saksi dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan
  3. Memberhentikan sementara Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Betapa hebatnya peranan DKPP dalam tugas dan kewenangannya, akan menjadikan lembaga baru ini, benar-benar menjadi lembaga superbody

Rumitnya Penyelenggaran Pemilu Tahun 2014
Pengalaman atas kesalahan Pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009, telah menjadi pelajaran berharga para politisi di senayan. Seakan tidak mengulangi kesalahan pemilu sebelumnya, maka penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU memiliki peranan yang sangat strategis dan vital. Pengalaman Pemilu legislatif pasca reformasi tahun 1999, wakil dari unsur Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif 1999 masuk di jajaran KPU. Ternyata membawa kebuntuan demokrasi, dengan tidak ditandatanginya hasil Pemilu Legislatif 1999 oleh wakil dari unsur Partai Politik tersebut. Pengalaman Pemilu Legislatif 2004, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, juga menorehkan kesalahaan yang berhubungan dengan persoalan keuangan dan logistik Pemilu. Mantan Ketua KPU Nazaruddin dan koleganya Mulyana W Kusuma serta anggota KPU lainnya, harus berurusan dengan KPK mengenai Tindak Pidana Korupsi. Pengalaman Pemilu Pemilu Legislatif 2009, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, ternyata juga memiliki kesalahan yang sama mengenai teknis pemilu, dimana kasus Andi Nurpati mengenai Pemalsuan Surat MK telah mengubah stigma negatif terhadap KPU.
Bila menelaah lebih jauh dari pengalaman Pemilu sebelumnya, para politisi seakan-akan kehilangan “roh penyelenggaran pemilu” Undang-Undang Penyelenggara Pemilu yang disahkan pada tanggal 20 september 2011 oleh DPR dan Pemerintah sebagai penganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Ternyata menimbulkan kerumitan tersendiri. KPU seakan-akan di preteli segala kewenangannya Pasal 8 ayat 1 huruf c menyebutkan “(1) Tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaran Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, meliputi :....c menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah .“ KPU kedepan akan tersandera oleh debat kusir dengan DPR dan Pemerintah, jika akan membuat suatu regulasi pedoman teknis pelaksanaan pemilu, pada Pasal 8 ayat 1 huruf c “makna ....”konsultasi dengan DPR dan Pemerintah.” Dapat diterjemahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan strategis pelaksanaan tahapan Pemilu harus mendapatkan restu dari DPR dan Pemerintah. Hal ini jelas bertentangan dengan azas Penyelenggaran Pemilu pada pasal 2 huruf a Mandiri, konteks “mandiri” dalam azas Penyelenggaran Pemilu adalah KPU terbebas dari intervensi politik dari DPR maupun Pemerintah yang berkuasa. KPU memiliki integritas untuk mengambil kebijakan yang transparan dan imparsial, jika hal ini terjadi maka KPU sebagai Penyelenggara dan Pelaksana Pemilu akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
Penulis juga mengkritisi tentang keanggotaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau yang disebut DKPP, sesuai dengan Pasal 109 ayat (4) dimana, terdapat  1 (satu) unsur dari masing-masing Partai Politik yang ada di DPR, betapa hebohnya, ketika ketidakuntungan sebuah Partai Politik Peserta Pemilu 2014, menyangkut penetapan hasil Pemilu oleh KPU. Akan berdampak pada penyerangan politik  terhadap ketua/anggota KPU, walaupun sudah melaksanakan tugasnya secara benar. DKPP akan menjadi alat politik bagi Partai Politik, agar syahwat politik masing-masing Partai Politik terpenuhi. Kerumitan struktur penyelenggara Pemilu Struktur Penyelenggara Pemilu menurut Undang-undang Penyelenggara Pemilu Terbaru, akan berdampak pada KPU sebagai pelaksanaan Pemilu 2014. KPU akan berkerja tidak percaya diri, dan harus membuat “deal-deal tertentu” dengan Pemerintah, DPR dan Partai Politik Peserta Pemilu 2014. KPU akan tidak nyaman dengan peran Bawaslu dan DKPP yang setiap saat menghantui kinerja KPU kedepan. Karena di dalam kamus dunia politik tidak pernah ada kata suci, karena semua berujung pada kekuasaan. Untuk itu Anggota KPU kedepan harus mengerti teknis kepemiluan, ilmu komunikasi, manajemen negara dan hukum admintrasi kepemiluan, serta harus benar-benar menjadi manusia setengah dewa. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar