Rabu, 14 September 2011

PERTEMPURAN MELAWAN KORUPSI


PERTEMPURAN MELAWAN KORUPSI
Oleh :
DIDIK ARIYANTO, SH, M.Kn


Negara indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, telah menjelma sebagai negara terkorup. Bila dibandingkan dengan Negara Singapura, negara kita masih kalah jauh indeks presepsi dalam prilaku korupsi. Republik ini ternyata telah melakukan budaya korupsi sejak jaman orde baru dengan rapi dan berkesinambungan, tidak heran bila prilaku korupsi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia sehari-hari. Masyarakat kita yang kenal malas hiprokit, hedonis dan pragmatis telah menuju pada prilaku sehari-hari yang individualis, tidak mau mengalah, ingin selalu berkuasa, tidak patuh pada hukum, saling serobot dan tidak disiplin merupakan sumber penyakit sosial bangsa Indonesia. Tidaklah mengherankan bila generasi muda mengikuti jejak langkah para pelaku korupsi terdahulu, ingat sosok nazaruddin seorang tokoh muda yang masih berumur 33 tahun, telah melakukan serangkaian tindakan korupsi di kementerian pemuda dan olah raga serta kementerian lainnya, yang sampai sekarang masih dilakukan penyidikan oleh KPK. Prilaku korupsi ternyata tidak hanya dilakukan oleh generasi tua akantetapi telah beralih pada generasi muda. Hal ini telah mengancam eksistensi kehidupan berbangsa dan negera.
Presiden SBY telah melakukan gederang perang melawan korupsi ternyata tidak digubris oleh kader dari Partai Demokrat yaitu nazaruddin. Bahkan semakin kerasnya sang presiden perang terhadap korupsi di Indonesia, membuat modus operandi korupsi semakin canggih. Prilaku Koruptor telah benar-benar merusak sendi-sendi bangsa, banyak sekali rakyat indonesia yang menjadi miskin dan melarat. Tidaklah mengherankan jika pembanguan moralitas yang di agung-agungkan oleh para pemimpin agama ternyata tidak pernah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Nilai-nilai keagamaan yang suci ternyata tidak mengubah prilaku korupsi, sebagian masyarakat Indonesia dan menjadi gambaran buruk republik ini.
Kemudian menjadi pertanyaan kita bersama “ada yang salah dengan Negara ini?” Dimanakah nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya? Dimanakah Sila Pertama “ Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjadi pedoman berkehidupan berbangsa dan bernegara? Ternyata kita sudah terlena oleh kehidupan yang serba hedonis dan pragmatis. Paramenter manusia Indonesia diukur dengan berapa banyak harta yang dimiliki, bukan kecerdasaan intelektual dan moralitas yang dimiliki. Tingkah laku preman ternyata lebih sesuai dengan “life style” manusia Indonesia, dibandingkan dengan gaya hidup seorang yang berpikir positif dan bertingkah laku mulia. Pembanguan materialisme selama orde baru telah membangkitkan semangat hedoisme dan pragmatisme sebagian besar masyarakat Indonesia. Keberhasilan pembangunan materialisme ternyata tidak imbangi oleh pembanguan moralitas ternyata berakibat fatal dikemudian hari. Sila Kedua “ Kemanusiaan yang adil dan beradab” ternyata tidak berlaku oleh  masyarakat korupsi Indonesia. Bagaimanapun juga prilaku Korupsi telah meniadakan rasa kemanusiaan. Mereka hanya melihat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Masa bodoh dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ancaman Globalisasi
Globalisasi telah mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang kredil akan nilai-nilai Pancasila. Semangat Nasionalisme bangsa Indonesia semakin luntur oleh pola tingkah kapitalis global. Rasa memiliki bangsa dan negara Indonesia, seakan-akan dimiliki oleh penguasa negara yaitu politikus, birokrat, aparat hukum dan pengusaha. Tidaklah mengherankan bila rakyat yang cerdas bila disuruh membayar pajak, akan mempertanyakan kepada penguasa negara, “uang yang aku berikan kepada negara kok dikorupsi oleh anda!” Uang hasil pajak ternyata tidak di manfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Bila kita melihat rakyat akan nerurusan dengan negara, misalnya: mengurus KTP atau sertifikat tanah, maka para penguasa Negara yaitu Birokrat akan mengunakan semangat untuk berbelit-belit, alasan kurang inilah, kurang itulah dan pada akhirnya minta jatah duit. Inilah secuil contoh yang masih dapat kita lihat sehari-hari, di berbagai kantor pelayanan masyarakat di Indonesia.
Kehidupan instan dan penuh rekayasa dalam dunia layar televisi telah mengubah maid set para manusia Indonesia. Manusia Inonesia telah di giring oleh kepentingan kapitalis global untuk menikmati dunia yang serba hedonis dan pragmatis. Banyak cerita sinetron yang melakukan pembusukan moralitas manusia Indonesia. Hingga jalan pintas untuk meraih hal tersebut dilakukan oleh cara melakukan tindakan korupsi, berakibat pada rusaknya sendi-sendi moralitas bangsa Indoneisa.
Tidaklah mengherankan jika orang-orang Indonesia, memiliki kebiasaan yang sangat pandai merekayasa sutau masalah, jika masalah tersebut menghasilkan suatu keuntungan besar. Tidak ada salahnya jika pertempuran melawan budaya Korupsi di Indonesia, butuh perangkat lunak dan perangkat keras negara. Perangkat lunak berupa pendekatan-pendekatan sosial budaya masyarakat serta memberikan bentuk motivasi kesadaran manusia lewat lembaga-lembaga moral. Perangkat Keras Negara berupa aturan-aturan yang sangat keras terhadap pelaku-pelaku korupsi dan sistem manajemen tata kelola negara yang baik. Melakukan reformasi total terhadap penyelenggaraan negara dengan membangun tata kelola birokrasi yang profesional.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar