Minggu, 11 September 2011

KAPITALISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA

KAPITALISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA
OLEH :
DIDIK ARIYANTO, SH, M.Kn

Tidaklah mungkin bila demokrasi yang berkembang di tanah air kita, berkembang begitu saja tanpa ada kepentingan-kepentingan pemodal besar. Demokrasi yang telah dibangun atas bumi Indonesia, ternyata telah bergerak secara sebebas-bebasnya. Hingga ruang dan celah dalam kehidupan ruang lingkup indonesia telah terasuki oleh semangat pragmatisme yang begitu besar. Masyarakat indonesia telah tergiring pada pusaran pemodal-pemodal global, tidak mengherankan nilai-nilai material yang diciptakan oleh kaum kapitalis telah menyihir manusia-manusia indonesia sekarang ini. Lihatlah contoh: setiap even politik yang namanya “pemilu” di Indonesia hadirnya cost political and money political telah menjadi suatu kewajaran. Cost political bagi seorang warga negara Indonesia yang berminat menjadi calon legislatif (DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota)  dan calon eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah) harus merogoh kocek jutaan rupiah bahkan milyaran rupiah untuk mendapatkan surat sakti atau rekomendasi dari petinggi Partai Politik yang bersangkutan. Betapa hebatnya politik di Indonesia, ketika sudah mendapatkan surat sakti atau rekomendasi dari petinggi Partai Politik bersangkutan. Langkah sang calon legislatif (DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota)  dan calon eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah), tidak berhenti begitu saja. Akantetapi mereka harus melakukan transaksional dengan pemilih melalui money political. Harga suara perpemilih tergantung daerah pemilihan calon yang bersangkutan, semakin calon kurang dikenal oleh pemilih maka harga suara akan semakin besar dan jika calon dikenal dan memiliki masa loyal pada sang calon maka biayanya semakin kecil.  
Tidak mengherankan jika even pemilu menjadi ajang transaksi politik yang luar biasa besarnya. Calon anggota DPRD Kabupaten/kota harus merogoh kocek antara 100 juta s/d 500 Juta untuk biaya cost political dan money political. Jika asumsi pemilih di daerah pemilihan tersebut berjumlah 60 ribu dengan setiap pemilih mendapatkan angpo Rp. 10.000,- dari sang calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota  tinggal menghitungkan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Calon. Dan itupun sang calon belum tentu jadi. Penulispun berpikir kejadian itu hanya tingkat Calon DPRD Kabupaten/Kota, belum tingkat DPRD Propinsi dan DPR RI betapa besarnya uang sogokan yang harus disediakan sang calon. Melihat fenomena yang terjadi sekarang ini, telah terjadi pengikisan moral politik di Indonesia, pemilu yang menjadi barometer politik bangsa. Ternyata telah menjelma menjadi suatu kapitalisasi politik, hingga menjadi industri politik. Kekuasan negara yang diraih oleh para politikus  telah mengarah pada ketidakwajaran politik yang tanpa akhir. Ingat pada kasus nazaruddin betapa kekuasaan di pergunakan oleh sang nazaruddin untuk melakukan tindakan korupsi dengan menjarah uang rakyat di berbagai proyek kementerian. Tentunya tidak dalam kasus nazaruddin saja, tapi kejadian-kejadian lain yang tidak terekspos oleh media.
Uang yang dipergunakan untuk meraih kekuasaan ternyata hasil jarahan uang rakyat. Tidaklah mengherankan jika setiap perencanaan suatu proyek disuatu kementerian atau lembaga negara lainnya, sudah menjadi ajang korupsi antara oknum politikus, oknum penyelenggara Negara dengan kontraktor-kontraktor. Lihat saja kasus di Kemenaktrans baru-baru ini, oknum penyelenggara negara dengan kontaktor telah melakukan deal-deal busuk, walaupun proses tender pembanguan infraktruktur di wilayah transmigran belum dimulai. Sistem ijon secara tradisonal yang dulu diterapkan oleh tengkulak kepada petani, sekarang berubah menjadi sistem ijon yang modern yang diterapkan para kontraktor nakal kepada penyelenggara negara serta pejabat negara. Dengan memberikan sejumlah fulur milyaran rupiah kepada penyelenggara negara sebelum eksekusi di mulai dalam suatu proyek-proyek kementerian atau lembaga non kementerian. Suatu yang ironis ketika Partai Politik tidak dapat menarik sumbangan dari anggota Partai Politik dan simpatisan Partai Politik, mengakibatkan para Pengurus partai politik sibuk dengan berburu rente di proyek-proyek yang dibiayai negara.
Jika memahami lahirnya Partai Politik di Indonesia, tidak lepas dari kebehasilan era demokrasi yang selalu mengagung-agungkan Kapitalisasi Politik. Perlu kita sadari, bayangan idelogis Partai Politik di Indonesia adalah suatu keniscayaan politik. Dan tumbuh kembangnya Partai Politik di lingkungan Indonesia sekarang ini, semakin tidak menambah kesehatan perpolitikan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia semakin teracuni oleh penyakit Pragmatisme dan Hedonisme. Nilai-nilai luhur Pancasila sebagai Ideologi bangsa semakin tertinggal jauh oleh euporia demokrasi, Pancasila semakin tidak memiliki arti ketika Kapitalisasi Partai Politik menjadikan virus flu burung dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ajaran nilai-nilai luhur Pancasila hanya bagus pada tulisan atau seminar sehari-hari, butir-butir Pancasila yang dahulu menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia, kini telah mulai berangsur-angsur tenggelam dari bumi pertiwi.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar