TELAAH ETIKA
PENYELENGARA PEMILU
DALAM SIDANG DKPP
Oleh :
DIDIK ARIYANTO
Kasus sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP
mengenai pelanggaran Komisioner KPU atas dugaan pelanggaran etik penyelenggara
pemilu sebagaimana dilaporkan Ketua
Umum dan Sekjen Partai Republik, PPRN, Partai Buruh, Partai Pekerja dan
Pengusaha Indonesia (PPPI), Eliza Nurhilma selaku kuasa Partai Kedaulatan, dan
Partai Marhaenisme, merupakan contoh kasus yang menimpa para komisioner KPU
saat ini. Sidang tersebut belum memutuskan secara final dan mengikat,
akantetapi publik sudah menilai lain mengenai persidangan tersebut. DKPP
sepenuhnya telah memiliki otoritas kekuasaan yang besar terhadap benar dan
tidaknya tindakan Komisioner KPU dalam pelaksanaan Pemilu. Penjelmaan DKPP sebagai
manifestasi suatu peradilan etika, memiliki pandang subyektifitas terhadap
persoalan perbuatan hukum terhadap penyelenggara pemilu. Kekuatan DKPP dapat dipersamakan dengan Komisi
Yudisial, cuman Komisi Yudisial bertugas menjaga martabat dan kewibawaan Hakim.
Ranah kelakukan dan etika hakim didalam dan diluar persidangan suatu perkara
yang menjadi subtansi dasar Komisi Yudisial.
Sebenarnya
lahirnya DKPP, karena ketidakpercayaan sebagian anggota DPR terhadap kinerja
Komisioner KPU penyelenggara Pemilu 2009. Ketidakpercayaan tersebut disebabkan
ada ruang-ruang gelap yang diciptakan oleh Komisioner KPU penyelenggara Pemilu
2009, misalnya: hengkangnya Andi Nurpati ke Partai Demokrat, pasca pemilu 2009.
Dewan Kehormatan pada saat itu tidak bisa berbuat banyak, hanya membuat suatu
putusan rekomendasi tentang andi Nurpati. Peristiwa inilah menjadi pelajaran
berharga bagi Legislator untuk mengubah UU No 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggara pemilu. Peranan DKPP di masukkan secara eksterm melalui UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pada pasal 109 s.d 115. Tugas dan kewenangan DKPP tercantum dalam pasal
111 ayat (3) dan (4), tugas DKPP antara lain : a. menerima pengaduan dan/atau
laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelengara pemilu; b.
Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan
dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
c. menetapkan putusan; dan d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait
untuk ditindaklanjuti. Sedangkan Kewenangan DKPP yaitu : a. Memanggil
Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan; b. Memanggil pelapor, saksi dan/atau
pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk
dimintai dokumen atau bukti lain; c. memberikan sanksi kepada Penyelenggara
Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Peranan
dan tugas DKPP yang cukup besar dalam proses penyelenggara pemilu untuk berbuat
sesuai kode etik penyelengara pemilu. Penyelenggara KPU tidaklah cukup beserta
bawahannya akan tetapi juga Bawaslu beserta jajarannya. Penyelenggaran pemilu
tidak hanya pelaksanaan teknis administrasi saja akantetpi juga pengawasan yang
dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya. Putusan DKPP bersifat final dan
mengikat, hal ini tercermin dalam Pasal 112 angka (12) UU No 15 Tahun 2011.
Putusan final dan mengikat ini menjadikan momok yang menakutkan bagi
penyelenggara pemilu. Proses acara persidangan di DKPP sendiri mirip pada
persidangan umum lainnya, ada unsur pengadu dan teradu. Pengadu ini bisa masyarakat umum, peserta
pemilu, pemantau dan/atau pihak-pihak yang di rugikan dalam penyelenggara
pemilu, sedangkan pihak teradu adalah penyelenggara pemilu. Dalam konsepsi DKPP
dalam acara persidangan DKPP lebih banyak mengali bukti pelanggaran yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Alat Bukti pelanggaran tersebut bisa
secara lisan maupun tulisan atau data Teknologi Informasi lainnya yang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan.
Putusan
DKPP merupakan produk hukum etika penyelenggara pemilu, yang bersifat
administratif dan tidak memutup kemungkinan pelanggaran etika tersebut menjurus
pada tindak pidana. Hal ini sesuai Pasal 111 ayat (3) “ d. Menyampaikan putusan kepada pihak-pihak
terkait untuk ditindaklanjuti.” Pihak aparat penegak hukum, bisa masuk dalam
pelanggaran yang dilakukan Penyelenggara Pemilu asalkan Putusan DKPP dalam amar
putusannya menyebutkan “memerintahkan aparat penegak hukum untuk melakukan
proses penyelidikan atau penyidikan lebihlanjut.” Begitu besar otoritas DKPP
dalam proses pelaksanaan Pemilu, DKPP telah menjadi lembaga yudikatif baru
dibidang penyelenggaran pemilu. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
penyelenggara pemilu dapat dilakukan proses persidangan DKPP. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Komisioner KPU baik sebagai pelaksana pemilu pada setiap
tahapan dapat dilakukan pengaduan pada
tingkat persidangan DKPP.
Pegawasan terhadap DKPP
Jika yang
melanggar etik adalah Penyelenggara Pemilu jelas urusannya dengan persidangan
di DKPP, kemudian Anggota DKPP melakukan kesalahan dalam putusannya. Siapa yang
harus mengawasi DKPP? Dalam UU No 15 Tahun 2011 tidak mengatur secara rigid dan
komperhesif mengenai siapa pengawas tingkah laku dan etika para anggota DKPP.
DKPP telah menjadi lembaga “superpower” dari sistem penyelenggaraan Pemilu.
Putusan DKPP dapat melakukan putusan secara ultra petita, jika para anggota
DKPP menemukan bukti-bukti yang dinyakini kuat diluar tuduhan oleh pengadu.
Otoritas DKPP dan pengawasan yang nyaris tidak ada, membuat setiap putusan
persidangan DKPP tergantung pada subyektifitas anggota majelis dewan
kehormatan. Rambu-rambu peraturan kode etik yang dibuat bersama oleh KPU,
Bawaslu dan DKPP merupakan dasar
konstitusional DKPP dalam melakukan proses persidangan etika.
Pengawasan
DKPP selayaknya harus bisa diterapkan, ketentuan mengenai pengawas DKPP didalam UU No 15 Tahun
2011, harus dimasukkan. Sehingga jalanannya proses pengawasan terhadap DKPP
harus sejalanan semangat membangun penyelenggaran pemilu yang “fair play”.
Pengawas terhadap DKPP harus dibentuk antara unsur pemerintah, unsur pengiat
pemilu dan unsur yudikatif. kinerja DKPP harus dapat dipertanggungjawabkan
lewat publik. Telaah fungsi dan kewenangan DKPP harus diperjelas dalam ruang
lingkup peranan dan fungsi DKPP secara komperhensif. Anggota DKPP yang terdiri
dari 1 (satu) orang dari unsur KPU, 1 (satu) orang unsur Bawaslu, 1 (satu)
orang utusan Pemerintah dan 4 (empat) tokoh masyarakat, seharusnya diubah. Anggota
DKPP harus dibuka secara umum dengan syarat minimal seperti persyaratan menjadi
anggota KPU atau Bawaslu, bukan perwakilan yang ditunjuk oleh lembaga
pemerintahan. Esensi 4 (empat) tokoh masyarakat perlu diperjelas, karena tidak
asal main tunjuk seseorang, karena 4 (empat) tokoh masyarakat ini kelihatnya
banyak dimainkan oleh petualang politik.
Untuk itu
pengawasan terhadap DKPP multak diperlukan, agar tidak terjadi “absolute power”
dalam pelaksanaan pemilu. Peranan dan fungsi DKPP sebagai peradilan etika
penyelenggara pemilu harus dipertahankan akantetapi diadakan perubahan secara
menyeluruh. Pemilu yang jujur dan adil dan berdasarkan azas-azas pemilu yang
demokratis merupakan tujuan akhir dari penyelenggaraan pemilu, ketidakpercayaan
terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dapat diminimalisir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar