KODIFIKASI HUKUM PENYELENGGARA
PEMILU
Oleh :
DIDIK ARIYANTO
Demokrasi tumbuh dan berkembang, telah menghasilkan
para legislator yang piawai dalam sebuah dunia perpolitikan. Lahirnya para
legislator ini adalah perwujudan dari pemilihan umum yang dilaksanakan secara
jurdil dan demokratis. Pasca reformasi 1998 telah menghasilkan 3 (tiga) kali
pemilu anggota legislatif, perubahan aturan main dalam pemilu anggota
legislatif silih berganti. UU No 3 Tahun 1999 sampai dengan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
Legislatif menjadikan bukti perubahan aturan main. Pasang surut perubahan
Undang-undang Pemilu Anggota Legislatif merupakan produk hukum yang didasarkan
pada pengalaman demokrasi di lapangan, bukan pengalaman suatu teori politik
secara empiris. Legislator dan Eksekutif pasca reformasi, sebenarnya telah
memainkan peranannya terhadap pengamanan kekuasaan yang telah didapatkannya
pasca reformasi. Sistem Kepartaian dan penyelenggara pemilu yang belum
sepenuhnya mapan, mengakibatkan produk hukum tentang pemilu Anggota Legislatif,
lebih bersifat pragmatis kelompok bukan
berdasarkan atas basis ideologis. Hal ini dirasakan dengan munculnya Partai Politik
baru, pada setiap kali diadakan sebuah even pemilu, kita bisa melihat tumbuh
kembang dan pasang surut Partai Politik dari Pasca Reformasi lihat tabel 1.1:
No
|
Partai Politik Peserta Pemilu 1999
s.d 2014
|
|||
Tahun 1999
|
Tahun 2004
|
Tahun 2009
|
Tahun 2014
|
|
1
|
PIB
|
PNI Marhenisme
|
P. Hanura
|
P. NasDem
|
2
|
PKNI
|
PBSD
|
PKPB
|
PKB
|
3
|
PNI
|
PBB
|
PPPI
|
PKS
|
4
|
PADI
|
P. Merdeka
|
PPRN
|
PDI Perjuangan
|
5
|
PKMI
|
PPP
|
P. Gerindra
|
P. Golkar
|
6
|
PUI
|
PDK
|
P. Barnas
|
P. Gerindra
|
7
|
PKU
|
PIB
|
PKPI
|
P. Demokrat
|
8
|
P. Masyumi Baru
|
PNBK
|
PKS
|
PAN
|
9
|
PPP
|
P. Demokrat
|
PAN
|
PPP
|
10
|
PSII
|
PKPI
|
PPIB
|
P. Hanura
|
11
|
PDI Perjuangan
|
PPDI
|
P. Kedaulatan
|
P. Damai Aceh
|
12
|
P. Abul Yatama
|
PPNUI
|
PPD
|
P. Nasional Aceh
|
13
|
PKM
|
PAN
|
PKB
|
P. Aceh
|
14
|
PDKB
|
PKPB
|
PPI
|
PBB
|
15
|
PAN
|
PKB
|
PNI Marhenisme
|
PKPI
|
16
|
PRD
|
PKS
|
PDP
|
|
17
|
PSII 1905
|
PBR
|
PAKAR Perjuangan
|
|
18
|
P. Katholik Demokrat
|
PDI Perjuangan
|
PMB
|
|
19
|
PPR
|
PDS
|
PPDI
|
|
20
|
P. Rakyat Indonesia
|
P. Golkar
|
PDK
|
|
21
|
PPII Masyumi
|
P. Patriot Pancasila
|
P. Republik Nusantara
|
|
22
|
PBB
|
PSI
|
P. Pelopor
|
|
23
|
PSP
|
PPD
|
P. Golkar
|
|
24
|
P. Keadilan
|
P. Pelopor
|
PPP
|
|
25
|
PNU
|
|
PDS
|
|
26
|
PNI-Front Marhenisme
|
|
PNBKI
|
|
27
|
P. IPK Indonesia
|
|
PBB
|
|
28
|
P. Republik
|
|
PDI Perjuangan
|
|
29
|
P. Islam Demokrat
|
|
PBR
|
|
30
|
PNI-Massa Marhaen
|
|
P. Patriot
|
|
31
|
PMRB
|
|
P. Demokrat
|
|
32
|
PDI
|
|
PDKI
|
|
33
|
P. Golkar
|
|
PIS
|
|
34
|
P. Persatuan
|
|
PKNU
|
|
35
|
PKB
|
|
PAAS
|
|
36
|
PUDI
|
|
P. Daulat Aceh
|
|
37
|
P. Buruh Nasional
|
|
P. SIRA
|
|
38
|
P. MKGR
|
|
PRA
|
|
39
|
P. Daulat Rakyat
|
|
P. Aceh
|
|
40
|
P. Cinta Damai
|
|
P. Aceh Bersatu
|
|
41
|
PKP
|
|
P. Merdeka
|
|
42
|
P. SPSI
|
|
PPNUI
|
|
43
|
PNB Indonesia
|
|
PSI
|
|
44
|
P. Bhenika Tunggal
Ika
|
|
P. Buruh
|
|
45
|
PSUN Indonesia
|
|
|
|
46
|
P. Nasional Demokrat
|
|
|
|
47
|
PUMI
|
|
|
|
48
|
PPI
|
|
|
|
Gambaran tumbuh kembang dan pasang surut Partai
Politik Peserta Pemilu menunjukan pola transisional demokrasi masih berlangsung
sampai dengan hari ini. Undang-undang politik di Indonesia ternyata tidak
dikodifikasikan secara komperhesif, mengakibatkan rambu-rambu pengaman
demokrasi tidak berjalan secara on the track. Mekanisme politik di indonesia
telah melakukan kanibalisasi undang-undang demi kepentingan kekuasaan serta
mempertahankan status quo. Proses pemaksaan pemilu berdasarkan Sistem Pemilu
yang campuran mengakibatkan berjalanan politik berdasarkan atas posisi
transaksional politik dan kepentingan politik sesaat.
Ketidakonsistenan dalam pembangunan politik di
Indonesia terutama permasalahan pemilu menjadikan kodifikasi atas hukum penyelenggra
pemilu semakin jauh dari harapan. Pola serampangan penyelenggaraan pemilu sudah
nyata terlihat. Pada Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Parpol ternyata juga
tidak menyelesaikan persoalan, persoalan penetapan suara sah pemilu 1999 secara
nasional. Telah dilakukan penolakan sebagian wakil parpol yang duduk dalam KPU,
penolakan tersebut hanya didasarkan oleh rasa kesal dan apriori terhadap
Pemerintahan BJ Habibie. UU No 3 Tahun 1999 sebagai payung hukum terhadap
pelaksanaan Pemilu Anggota Legislatif Tahun 1999, ternyata tidak menjadikan
pedoman bagi Parpol Peserta Pemilu 1999. Perubahan untuk menjadikan Lembaga
Pemilihan Umum yang memiliki intergritas dan independen telah melahirkan produk
amademan UUD 1945 tercantum pada Pasal 22 E angka (5) “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.” Yang kemudian pada pemilu legislatif tahun 2004 telah menerapkan
Pasal 22E angka (5), dengan dipilihnya komisioner yang berasal dari kalangan
akademisi dan pengiat Pemilu. Pelaksanaan Pemilu 2004 telah menjadi catatan sejarah
baru bangsa Indonesia, dengan diawalinya penyelenggaran Pemilu Anggota
Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan pertama
kalinya. Hal ini merupakan suatu loncatan demokrasi yang sangat cepat dan
evolusioner, mengakibatkan kredibilitas dan intergitas KPU menjadi taruhan politik. Cerita KPU sebagai lembaga super power dalam
penyelenggara Pemilu tahun 2004 dan berjalan aman dan sukses, berakhir dengan
kasus Korupsi yang dilakukan oleh Komisioner KPU.
Komisioner KPU pada penyenggaraan Pemilu 2009 tidak
pengin terjebak pada “jebakan Batman” oleh para konspirator politik. Kemudian para
komisioner KPU beserta Kesekjenan KPU berkerja sangat hati-hati terhadap segala
pengadaan barang dan jasa Pemilu 2009. Walaupun cercaan dan tudingan di
alamatkan oleh para Komisioner KPU Penyelenggara Pemilu 2009, ternyata
pelaksanaan Pemilu 2009 tidak menimbulkan gejolak yang sangat berarti. Dalam penyelenggaraan
Pemilu 2009 juga telah terbentuk Badan Pengawas Pemilu yang bersifat permanen
yang berkedudukan di Ibukota Negara, sesuai dengan UU No 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu. Tujuan dibentuknya bawaslu sebagai pengawasan terhadap Pemilu, menurut para
Legislator mutlak diperlukan, guna mengamankan jalannya pemilu. Suatu kenyataan
yang tidak dipungkiri lahir sekaligus hadirnya Bawaslu menjadikan “matahari kembar” dalam sistem
pengelolaan Pemilu di Indonesia. Ketidak percayaan terhadap KPU oleh para
penguasa politik serta aktivis pemilu menjadikan suatu kerumitan dalam sistem pengelolaan Pemilu. Kasus-kasus
pelanggaran pemilu tahun 2009, lebih banyak diselesaikan dengan hukum adat,
ketimbang mengunakan hukum-hukum positif. Misalnya : Kasus money politik pada
waktu hari pemunggutan suara yang
terjadi di daerah pemilihan Jawa Tengah 3 ternyata tidaklanjuti oleh panwaslu
setempat, walaupun money politik tersebut dilakukan secara terang-terangan.
Posisi pengawas pemilu dalam UU No 22 Tahun 2007, hanya melaporkan kepada Pihak
Kepolisian jikalau perbuatan hukuml tersebut masuk ranah pidana pemilu
sedangkan tindakan administratif melaporkan kepada KPU sesuai tingkatannya.
Peristiwa pelaksanaan Pemilu 2009, menjadikan
ketidakpercayaan lagi oleh para Legislator yang duduk di Parlemen. Perubahan UU
No 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara Pemilu semakin kencang disuarakan. Kesalahan
Komsioner beserta sekretaris jenderal KPU beserta jajaran ditingkat Propinsi
dan Kabupaten/Kota tidak dapat diadili secara administartif, merupakan alasan
politis yang disuarakan oleh para Legislator. Munculnya UU No 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu telah memecah kembali tata kelola penyelenggara
Pemilu, lahirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP sebagai lembaga
eksekutor / peradilan etika pemilu telah menjadikan sebuah “tiga matahari”
dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebuah teori penyelenggaraan Pemilu yang
memisahkan pembagian kekuasaan: (1) KPU sebagai pelaksana teknis penyelenggara
pemilu; (2) Bawaslu sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan Pemilu; dan (3)
DKPP sebagai lembaga pengadilan etika terhadap KPU dan Bawaslu. Kasus tidak
diterimannya keputusan Adjukasi terhadap Sengketa KPU dengan PKPI oleh KPU,
mengakibatkan pada Komsioner KPU Penyelenggara Pemilu 2014 harus menghadiri
sidang DKPP.
Perlunya Kodifikasi Hukum
Polemik penyelenggara Pemilu di Indonesia dari tahun
1999 s.d 2014, sampai saat ini belum menemukan titik temu yang pasti. Kepastian
hukum terhadap pelaksanaan Pemilu semakin kalah oleh tekanan politik. Hukum
penyelenggara Pemilu, ditinjau dari presfektif Indonesia sebagai negara hukum,
tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang pasti. Pergantian Peraturan
mengenai kepemiluan ternyata bertabrakan dengan aturan-aturan hukum lainnya,
misalnya: mengenai penyelesaian sengketa pemilu mengenai Parpol sebagai Calon
peserta pemilu 2014 di Bawaslu dan diteruskan ke PTTUN, yang memenangkan
gugatan dari PBB dan PKPI ternyata para hakim PTTUN belum sepenuhnya menguasai
mengenai Hukum Adminitrasi Pemilu, bahkan dalam Putusan PTTUN tentang sengketa
KPU dengan PKPI. Majelis Hakim membuat putusan yang ultra petita, dimana KPU
sebagai tergugat tidak diperbolehkan untuk melakukan kasasi.
Sebuah ironi dari kasus di atas, ketidaktahuan
Majelis Hakim PPTUN telah menghasilkan produk hukum tidak dapat dimengerti oleh
masyarakat. Pembentukan peradilan add hoc khusus pemilu, harus dilakukan
secepatnya. Revisi UU No 8 Tahun 2012 harus diberlakukan terutama mengenai
penyelesaian kasus-kasus sengketa dalam Pemilihan Umum. Kasus penyelesaian
adjukasi di bawaslu serta peradilan umum dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara,
ternyata masih menyisakan persoalan dalam sengketa pemilu. Para hakim ternyata
tidak melihat subtasi hukum administrasi pemilu, kasus sengketa PPTUN tetang
PKPI dan PBB harus menjadi pelajaran berharga bagi legislator untuk merevisi UU
No 8 Tahun 2012.
Desain waktu pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu begitu
ketat, tidak dibarengi dengan peraturan Penyelenggara Pemilu yang memiliki
kepastian hukum. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu harus diterapkan sebagai
solusi memecahkan kebuntuan hukum mengenai penyelenggaran pemilu, kodifikasi
hukum penyelenggara pemilu harus diatur secara rigid dan komperhensif mengenai
hak dan kewajiban antara pelaksana penyelenggara Pemilu, Pengawas Pemilu,
Pemantau Pemilu, Peserta Pemilu, Peradilan Pemilu, Dewan etik pemilu dan masyarakat secara keseluruhan. Kodifikasi
hukum penyelenggara pemilu harus di sinergikan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya sehingga produk yang dihasilkan oleh penyelenggara Pemilu yaitu KPU dapat
diterima seluruh masyarakat secara luas. Tekanan politik atas nama hak
konstitusional warga negara, tidak bisa dijadikan landasan untuk mengubah kodifikasi
penyelenggara pemilu. Kodifikasi hukum penyelenggara pemilu tidak seenaknya
diubah-ubah oleh selera penguasa atau parpol pemenang pemilu. Dimasa mendatang kondifikasi
hukum penyelenggara pemilu sebagai landasan pelaksanaan demokrasi yang sehat
dan bermartabat menjadi tolak ukur bangsa Indonesia yang sejahtera dan
bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar