Senin, 27 Juni 2011

OPSI KEANGGOTAAN KPU

OPSI KEANGGOTAAN KPU
DARI PARTAI POLITIK

Oleh :
DIDIK ARIYANTO, SH,M.Kn


KPU yang dikenal dengan Komisi Pemilihan Umum, yang diatur didalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “ Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” memiliki arti bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu lembaga negara yang bernama Komisi Pemilihan Umum, yang memiliki cakupan secara nasional yang artinya Komisi Pemilihan Umum memiliki struktur tetap, ditingkat Pusat sampai dengan Kabupaten/Kota, wajar jika struktur hirarkis Komisi Pemilihan Umum terbentuk ditingkat KPU Pusat yang berkedudukan di ibukota Jakarta, KPU Provinsi ditingkat Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi,dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota.
Sejarah terbentuknya KPU yang nasional, tetap dan mandiri, disebabkan oleh kekisruhan yang terjadi dalam Pemilu Anggota DPR, DPRD I dan DPRD II pada Tahun 1999. KPU Yang terdiri dari wakil Pemerintah dan wakil 48 Partai Politik Peserta Pemilu 1999 tidak dapat menyelesaikan Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPRD I dan DPRD II pada Tahun 1999. Kemudian Presiden Habibie melalui Keppres 92 Tahun 1999 tentang “pengesahan penetapan keseluruhan Hasil penghitungan suara pemilihan umum tahun 1999 untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II secara nasional”, menetapkan hasil Pemilu 1999 secara nasional. Kondisi politik yang tidak sehat pada waktu 1999, KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu Tahun 1999 ternyata tidak dapat berkerja secara efektif dan efesien. Pemikiran KPU harus terdiri dari anggota yang independen terlaksana ketika Presiden Gus Dur mengeluarkan Keppres Nomor 70 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, di dalam Pasal 1 ayat (2) Keppres Nomor 70 Tahun 2001  Tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum menyebutkan “ KPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah badan penyelenggara Pemilihan Umum yang independen dan non partisan, berkedudukan di Ibukota Negara”. Dari sifat yang “ ...Independen dan Non Partisan” itulah, maka Wakil Partai Politik tidak dapat duduk di dalam keanggotaan KPU. Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2004 ada dua pekerjaan besar  dalam sejarah KPU yaitu harus melaksanakan : (1) Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta (2) Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Anggota KPU yang terdiri dari, akademisi dan Lembaga Pemantau Pemilu,serta tokoh penggiat Pemilu, ternyata dapat melaksanakan Pemilu 2004 dengan aman dan kondusif. Walaupun akhirnya para anggota KPU harus berurusan dengan KPK dengan tuduhan tindak pidana korupsi, serta salah satu anggota KPU yaitu Anas Urbaningrum secara mengejutkan pindah ke Partai Demokrat dan juga diangkatnya Hamid Awaluddin menjadi Menteri Hukum dan HAM pada jajaran Kabinet SBY-Kalla yang cukup menghebohkan, hal ini menjadikan kita tetap bangga atas kinerja KPU pada masa Pemilu 2004.
Dengan diubahnya UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Ketentuan-ketentuan mengenai KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, di masukan dalam Undang-undang tersendiri yaitu UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, membawa dampak yang positif dan negatif. Dimana dampak positifnya, ketentuan mengenai ke-Sekjen-an KPU serta Keseketariatan KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota diatur secara tersendiri sedangkan dampak negatifnya yaitu;  adanya titik lemah didalam UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu serta  longgarnya aturan di dalam UU tersebut, terutama kiteria persyaratan keanggotaan KPU yang memperbolehkan orang-orang yang belum berpengalaman dibidang kepemiluan dapat ikut seleksi KPU asalkan  membuat karya ilmiah kepemiluan, hal ini mengakibatkan kualitas keanggotaan KPU dipertanyakan dikemudian hari. Kelemahan inilah, yang mengakibatkan manajemen penyelenggaran Pemilu 2009 menjadi agak kacau. Hal ini terlihat dari kasus DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 yang menjadi permasalahan bangsa, hingga saat ini. Kemudian peralihan sistem “coblos” menjadi “contreng” mengakibatkan persoalan tersendiri, dimana banyak sekali kesalahan yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu terutama KPPS dalam menterjemahkan sah tidaknya surat suara. Kondisi ini yang mengakibatkan banyak suara yang rusak. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan oleh para politisi mengenai hasil penyelenggaraan Pemilu 2009, hingga wacana perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu semakin disuarakan oleh DPR RI lewat hak inisatifnya.


Opsi Persyaratan Anggota KPU
Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, sebenarnya ada keinginan para Politisi di Senayan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaran Pemilu Tahun 2014, agar lebih baik manajemen kepemiluannya. Akantetapi Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, masih  berkutat pada Persyaratan keanggotaan KPU yang dapat berasal dari anggota/ Pengurus Partai Politik, asalkan mengundurkan diri pada waktu pendaftaran. Klasul Persyaratan Calon Anggota KPU dapat berasal dari dari anggota/Pengurus Partai Politik yang mengundurkan diri pada waktu pendaftaran, opsi pertama mendapat dukungan dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Sedangkan opsi Kedua mengenai Persyaratan Calon anggota KPU  tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan, didukung oleh Partai Demokrat dan PAN. Ketujuh Partai Politik yang mendukung opsi pertama  mengenai  Persyaratan Calon Anggota KPU dapat berasal dari Partai Politik yang mengundurkan diri pada waktu pendaftaran, dilatarbelakangi oleh dua kasus besar dalam tubuh KPU, yaitu Pada Kasus pertama; Dalam Penyelenggaran Pemilu 2004, Anas Urbaningrum sebagai Anggota KPU, pindah ke Partai Demokrat, kemudian pada  Kasus kedua; Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2009, Andi Nurpati sebagai Anggota KPU, pindah menjadi salah satu Formatur DPP Partai Demokrat. Serta di tambah kecurigaan Ketujuh Partai Politik (Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra ), mengenai kemenangan fantastis Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009. Kemudian juga ada pemikiran para anggota DPR RI dari Ketujuh Partai Politik tersebut, bahwa lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dapat diisi oleh Partai Politik misalnya; Hakim-Hakim pada Mahkamah Konstitusi  orang-orang terdiri dari pentolan Partai Politik Mahfud MD berasal dari PKB, M Akil Moctar berasal dari Partai Golkar, Hamdan Zoelva berasal dari PBB.
Opsi pertama tentang Persyaratan Calon Anggota KPU dapat berasal dari Partai Politik yang mengundurkan diri pada waktu pendaftaran,  ternyata tidak di dukung oleh LSM, terutama CETRO yang secara masif menolak kehadiran Partai Politik dalam sebagai penyelenggara KPU, mereka beralasan, tidaklah mungkin jika Pemain merangkap sekaligus wasit. Serta melihat sepak terjang selama ini Partai Politik di Indonesia belum secara baik memisahkan antara kepentingan politik dan kekuasaan politik. Hal ini menjadikan terbengkalainya Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sepatasnya Ketujuh Partai Politik (Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra ), dapat melihat kembali sejarah Pemilu di Indonesia, bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu 1999 merupakan pemilu legislatif yang demokratis pertama pasca runtuhnya Orde Baru, akantetapi Wakil Partai Politik yang duduk di KPU pada waktu itu tidak dapat menetapkan Hasil Pemilu 1999.
Bila Opsi Pertama tentang Persyaratan Calon Anggota KPU dapat berasal dari Partai Politik yang mengundurkan diri pada waktu pendaftaran benar-benar dijalankan dan masuk di dalam ketentuan Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, maka tidaklah mustahil akan terjadi resistensi di dalam tubuh kelembagaan KPU. KPU akan menjadi lembaga yang penuh dengan konflik politik dan intrik politik, karena setiap anggota KPU membawa sejumlah kepentingan Partai Politik yang pernah dihuninya. Sehingga persoalan teknis Penyelenggarakan Pemilu akan semakin terabaikan, sehingga tidaklah mustahil bila intervensi Pemerintah, lewat Sekjen KPU akan berperan secara dominan. Hal ini bila benar terjadi, maka untuk mengharapkan suatu Penyelenggaran Pemilu yang benar-benar independen semakin jauh dari benak pemikiran kita.

Solusi untuk KPU kedepan
Dalam melihat berbagai kasus yang menimpa KPU sebagai Penyelenggara Pemilu baik Pemilu Anggota DPR, DPRD I dan DPRD II Tahun 1999, Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2004 serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004,  Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, ditambah PemiluKada yang di selenggara oleh KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota. Maka mengembalikan Opsi KPU Persyaratan Calon Anggota KPU dapat berasal dari Partai Politik yang mengundurkan diri pada waktu pendaftaran, seyogyanya tidak diteruskan pembahasannya oleh para Wakil Rakyat yang duduk di Komisi II DPR RI, karena penulis berpendapat, pertama unsur keanggotaan KPU tidak  dapat diambilkan kalangan anggota atau pengurus Partai Politik, jika memang diambilkan dari Partai Politik semestinya ada ruang waktu yang cukup lama anggota atau pengurus Partai Politik tersebut mengundurkan diri, setidak-tidaknya dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) Tahun kedua Jika mau menyamakan KPU sebagai Lembaga Tinggi Negara lain, maka ada kekhususan tersendiri bagi KPU, karena sifat Independen dan Non Partisan yang harus menjadi pedoman utama, jadi benar artinya jika ada pameo tidaklah mungkin jika Wasit harus merangkap pemain dalam suatu Pertandingan, ketiga Profesionalisme serta kenetralan penyelenggaraan Pemilu tergantung sikap penyelenggara Pemilu yang didalamnya masuk unsur-unsur Anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota. keempat  adanya suatu Ketentuan sanksi yang tegas dan keras di dalam Undang-undang, jika penyelenggara Pemilu dalam hal ini Anggota KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi membantu kemenangan salah satu Partai Politik Peserta Pemilu atau Kandidat dalam Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada, dan jika terbukti secara yuridis formal, maka yang bersangkutan dapat di tuntut secara pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar