Senin, 27 Juni 2011

PRAGMATISME IDEOLOGI

PRAGMATISME IDEOLOGI
PARTAI POLITIK MENGHANTUI BANGSA INDONESIA
Oleh :
Didik Ariyanto, SH, M.Kn*)


Dalam beberapa hari ini, berbagai ulasan dimedia cetak dan elektronik di seluruh indonesia menyoroti kinerja daripada partai politik. Partai Politik yang seharusnya dibangun dari beberapa kelompok orang yang berkumpul dengan semangat motivasi dan memiliki suatu ide atau gagasan yang sama guna melakukan suatu tindakan dan maksud tertentu, dan untuk mewujudkan cita-cita dari kelompok tersebut. Ternyata kelompok orang yang berkumpul tersebut (dalam tubuh Partai Politik), hanya memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan. Memang dalam tradisi “politik” bahwa antara “kepentingan” dan “Kekuasaan” seperti dua sisi mata uang yang sama, dimana kepentingan untuk memperoleh sesuatu yang lebih adalah ide dasar dari mahluk yang namanya manusia. Manusia memiliki watak dasar ingin berkuasa. Dengan berkuasa manusia akan memperoleh sesuatu hal yang di inginkan. Dalam kehidupan Manusia modern untuk memperolehan kekuasaan salah satunya dapat peroleh lewat jalan Partai Politik, dimana Partai Politik dapat menjadi alat untuk merebut kekuasaan yang paling efektif, dalam struktur Negara. 
 Dalam pemberitaan di salah satu situs internet http://www.detik.com/, bahwa Nazarudin menyumbang kepada Partai Demokrat setahunnya mencapai Rp. 13 Milyar, hal ini menjadi polemik ketika nazarudin dikaitkan dengan kasus sesmenpora yaitu pembangunan wisma altet SEA Games di Palembang yang ditangani oleh KPK, kemudian juga Skandal percobaan penyuapan Nazarudin kepada Mahfud MD sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Bila kita telaah lebih lanjut bahwa kasus-kasus didalam tubuh Partai Demokrat, sebenarnya kasus tersebut juga ada di beberapa Partai Politik. Akantetapi Partai Demokrat sebagai Partai Penguasa, menjadi sorotan media cetak maupun media elektronik. Bila kita menilik lebih lanjut kepada kasus nazarudin, apa motivasi nazarudin menyumbang Dana begitu besar ( Rp. 13 Milyar) Kas Partai Demokrat, hal ini menurut analisis penulis  ada kaitkannya  dengan teori pengertian politik mengenai kalimat “Kepentingan” dimana nazarudin disini, sangat kental sekali dengan “kepentingan” pribadi nazarudin untuk memperoleh “Kekuasaan”. Kata Kekuasaan disini dapat diartikan oleh Penulis, bahwa saudara Nazarudin dapat duduk kursi  sebagai Anggota DPR RI yang terhormat dan dapat masuk dalam struktur Partai Demokrat sebagai Bendahara Umum, serta fasilitas-fasilitas lainnya.
Tidaklah mengherankan jika Partai Politik yang dibangun sekarang ini, kental terhadap kebutuhan ideologi pragmatis. Selama era reformasi sekarang ini, pembangunan politik di Indonesia belum menemukan suatu titik temu yang pas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca Lengsernya Kekuasaan Soeharto, Partai Politik belum menemukan format yang jelas, hal ini dapat kita lihat bergonta-gantinya UU tentang Partai Politik. Dimana setiap ganti undang-undang baru, Partai Politik tidak lepas dari berbagai Kepentingan para pelaku politik yang menyelimutinya. Seolah-olah Republik ini dijadikan suatu “Laboratorium para pelaku politik” dimana kelinci percobaan tentunya Rakyat Indonesia. Tidaklah mengherankan jika setiap even pemilu, banyak Partai Politik yang bermunculan yang arah tujuannya tidak jelas. Partai Politik yang bermunculnya tersebut, sangat tidak jelas Konsep Pendidikan Politik yang akan dilakukan oleh para pendiri dan pengurus Partai Politik tersebut.  Mereka hanya terbawa oleh euporia kebebasan demokrasi, tarulah contoh: Partai Murba yang lahir pada Pemilu 1999, teryata tidak eksis di Pemilu Berikutnya 2004. Begitu Juga Partai  Pelopor  yang lahir di Pemilu 2004 tidak dapat lagi eksis di Pemilu 2009. Dari analisis Penulis, tenyata Partai-partai tersebut tidak memiliki Konsep Pendidikan Politik yang jelas dan disamping itu pola politik di Indonesia masih mengedepankan “tokoh karismatik” atau “tokoh sentral”, lihatlah contoh: Kemenangan PDI Perjuangan pada waktu Pemilu 1999 tidak lepas dari ketokohan Megawati Sukarnoputri,  dan Kemenangan Partai Demokrat pada waktu Pemilu 2009 tidak lepas dari ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi Ketokohan tidak dapat dijadikan sebagai rujukan sebagai Pendidikan Partai Politik, karena sifatnya hanya instan saja.
Partai Politik sebagai alat pendidikan politik kepada rakyat Indonesia, ternyata tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Pasal 34 ayat (3b) UU No 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan c. pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Dalam Pasal tersebut, terdapat nilai-nilai yang fundamental dalam kehidupan Partai Politik di Indonesia, kemudian yang menjadi Pertanyaan kita adalah, apakah Partai Politik telah melakukan Pendidikan Politik sebagaimana dimana diamanatkan oleh Pasal tersebut diatas atau Pasal  34 ayat (3b) UU No 2 Tahun 2011, hanya kalimat yang tak bermakna dalam kehidupan Partai Politik sehari-hari.
Secara Realitas Pendidikan Partai Politik ternyata tidak dapat berjalan secara efektif sampai sekarang, lihat saja, dalam merekut Calon Anggota yang duduk di kursi legislatif, baik di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2009 ternyata harus menyediakan tarif/ongkos yang berbeda-beda, tergantung Partai Politik yang akan mencalonkan dirinya. Kemudian untuk Calon Kepala Daerah dan Wakil Daerah yang akan maju ke gelanggang PemiluKada harus membayar sejumlah uang milyaran rupiah untuk mendapatkan “Surat Sakti” dari DPP Partai Politik tersebut, belum lagi Sang Calon Kepala Daerah dan Wakil Daerah harus sanggup menyediakan Dana untuk Kemenangan Pemilukada termasuk di dalamnya Biaya “Money Politik”.  Hal ini jelas merupakan bentuk pembodohan politik secara nasional, jadi dalam kamus besar politik di Indonesia sekarang ini, hanya orang yang kaya-kayalah yang boleh duduk pada tataran Pejabat Negara/Publik (Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Tidaklah mengherankan bila, rakyat dalam setiap even Pemilihan Umum hanya dijadikan “obyek politik” mereka hanya dibutuhkan, ketika “hari penconterangan/pencoblosan” saja. Setelah itu tidak diperlukan lagi oleh Partai Politik. Gambaran buruk Partai Politik yang Lahir dan berkembang di Indonesia pasca orde baru, telah menjadikan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak bermakna dan tidak memiliki harga diri di Pentas Dunia Internasional. Banyak sekali kasus-kasus internasional yang melecehkan bangsa Indonesia, misalnya: Aparat DKP Provinsi Kepulauan Riau ditangkap secara tidak manusiawi oleh Tentara Diraja Malaysia, Hasil Pasir Laut diKepulauan Riau di rampok oleh Singapura yang kemudian dijadikan resort dan wahana wisata yang nilainya bermilyar-milyar dollar Amerika Serikat serta banyak lagi kasus-kasus TKI/TKW yang menjadi obyek penyiksaan di luar negeri.
Dalam berbagai kasus yang dialami oleh anak bangsa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut diatas, seyogyanya Partai Politik sebagai salah satu elemen kehidupan berbangsa, sepatutnya memberikan teladan kepada kehidupan politik bangsa Indonesia. Lahirnya UU No 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pendidikan Politik, merupakan salah satu bentuk kegelisahan para pelaku politik terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia yang berkembang secara liberal dan tanpa konsep ketatanegaraan yang jelas. Konsep Demokrasi yang Liberal yang berkembang sekarang ini,  memunculkan pemikiran yang radikal dan fundamental. Serta Pemikiran yang merindukan masa otoriter dan totaliter orde baru. Tidaklah mengherankan bila perkembangan Pemikiran semangat Pragmatisme di kalangan masyarakat Indonesia, disebabkan oleh pola tingkah para elit politik yang bertingkah secara pragmatis, semua yang ada dibenak pikiran kaum pragmatis adalah “ melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara”. Bila pada era orde baru, bahwa hanya para kaum komunislah  dalam melakukan kegiatan perpolitikkan “ menghalalkan segala cara”, tapi ternyata perkembangan tersebut telah ditiru oleh para kaum pragmatis sekarang ini.
Untuk itu sebagai anak bangsa, sepatutnya dikita harus melawan segala bentuk politik yang pragmatis, dimana jelas-jelas telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Partai Politik sebagai Garda Depan pembangunan Politik dan Demokrasi  di Indonesia, sepantasnya memberikan Kontribusi Positif bagi perkembangan Pendidikan Politik dan demokrasi di Indonesia. Tidak lupa bahwa azas-azas Demokrasi berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila harus kita kembangkan, terutama ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian bagaimana menangkal budaya pragmatisme di dalam tubuh Partai Politik, dalam hal ini penulis memberikan suatu kesimpulan, antara lain ; Pertama Dimana perbedaan di dalam Partai Politik dan berdemokrasi tidak menjadikan suatu bentuk permusuhan diantara anak bangsa, perbedaan dijadikan tolak ukur dalam membangun kebersamaan bangsa Indonesia.  Kedua Partai Politik harus mampu membangun jati diri bangsa Indonesia, dengan tidak menjadikan suatu nilai Kapital menjadi suatu acuan, tapi Pendidikan Partai Politik yang memiliki karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang menjadikan paling utama. Dan Ketiga Pembangunan Pendidikan Partai Politik, tidak hanya peranan Pemerintah dalam memberikan Bantuan Anggaran Kepada Partai Politik, akantetapi bagaimana caranya Partai Politik mengelola potensi yang ada di dalam Partai Politik tersebut termasuk Mengelola Sumber Daya Manusia yang potensial dan unggul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar