Kamis, 14 Juli 2011

PELAJARAN KPU DARI KASUS ANDI NURPATI

PELAJARAN KPU DARI KASUS ANDI NURPATI

Oleh :
DIDIK ARIYANTO, SH,M.Kn

Kasus penyelenggara Pemilu tahun 2004, telah menjadi pelajaran kita bersama. Begitu rentannya tubuh organisasi KPU dalam menghadapi serangan politik yang begitu bertubi-tubi. Kali ini kasus penyelenggara Pemilu 2009, terulang kembali. Terbukti pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oknum-oknum di Mahkamah Konstitusi dengan oknum-oknum di Komisi Pemilihan Umum telah menjadi pemandangan politik diberbagai media saat ini. Panja Mafia Pemilu yang dibentuk oleh Komisi II DPR RI sebenarnya untuk melanjangi kebobrokan Penyelenggaran Pemilu 2009. Kesiapan Penyelenggaran Pemilu 2009 oleh KPU ternyata masih menjadi perdebatan para politisi yang merasa dirugikan dalam masa penyelenggaraan Pemilu 2009 sampai saat ini. Kemampuan manajerial Komisioner KPU ternyata masih dipertanyakan publik, bagaimana mengatur penyelenggaraan pemilu sesuai dengan azas-azas yang demokratis. Bila Kasus Andi Nurpati  telah telanjur keluar kepada publik, dimana esensi surat palsu yang dituduhkan kepada mantan komisioner KPU Andi Nurpati oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD ternyata telah melebar kemana-mana. DPR melalui Komisi II membentuk Panja Mafia Pemilu, secara subtansi politik. Telah melakukan peradilan politik untuk menjatuhkan citra KPU yang sudah telanjur tidak baik, sedangkan Aparat Kepolisian yang menerima laporan pengaduan dari Ketua Mahkamah Konstitusi hanya menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara negara untuk menegakan hukum material.  Pernyataan Kadivhumas Mabes Kepolisian Republik Indonesia akan berkerja secara profesional, ternyata masih mengalami kesulitan untuk menangkap aktor intelektul surat palsu Mahkamah Konstitusi. Walaupun secara kasat mata siapa pelaku serta aktor inteletual bisa ditebak lewat skema yang dibuatkan oleh beberapa media cetak akantetapi Kepolisian masih terkurung dalam kasus tersebut, dengan alasan memperkuat barang bukti yang ada.
Tidaklah mengherankan Kasus Andi Nurpati merupakan sekelumit tontonan politik, sebagai pengalihan isu sentral politik yaitu kasus skandal bank century yang sampai saat ini tidak jelas status hukumnya. Kasus Andi Nurpati menjadikan suatu pembelajaran bagi Komisioner KPU yang akan datang. Dalam rancangan Perubahan Undang-undang 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara Pemilu seharusnya sistem manajemen kepemiluan harus diatur secara rigid, sehingga celah penyelenggara pemilu dan pelaku pemilu tidak dapat bermain-main dalam tahapan pelaksanaan pemilu.  Celah hukum penyelenggaran Pemilu dikarenakan belum teradministrasinya penyelenggaran Pemilu secara baik, misalnya : Persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang selalu menjadi polemik disetiap even pemilu, hal ini disebabkan oleh masih carut marutnya pengadministrasian kependudukan di Indonesia. Dirjen Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia belum secara maksimal melakukan pendataan penduduk nasional secara akurat. Hal ini terbukti pada Pemilukada Kabupaten Grobogan, Daftar Pontensial Penduduk Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan Dispendukcapil Kabupaten Grobogan kepada KPU Kabupaten Grobogan wajib Pilih 1.400.000 per 31 mei 2010, ternyata setelah dilakukan proses validasi secara administratif dan faktual oleh KPU Kabupaten Grobogan, kemudian menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.076.639. hal ini telah terjadi penyusutan angka sebesar 323.361. ada beberapa faktor yang menjadikan angka tersebut susut antara lain : (1) kematian, (2) tercatat sebanyak dua kali, (3) pindah kedaerah lain, (4) menjadi TNI/Polri dan (5) masih dibawah umur 17 Tahun dan belum menikah. Penyusutan angka tersebut KPU tidak dapat dipersalahkan, tapi bagaimana membangun sistem kependudukan yang komperhensif dan valid yang dibutuhkan.

Penataan ulang internal KPU
Dalam Rancangan Perubahan undang-undang nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara Pemilu, perdebatan subtansi dasar mengenai persyaratan calon anggota KPU bagi seorang calon anggota KPU harus mengundurkan diri dari kepengurusan/ kenaggotaan partai politik atau mengundurkan diri  sekurang-kurangnya 5 tahun dari kepengurusan/ keanggotaan partai politik tidaklah menjadi persoalan yang harus dipertentangkan terus menerus. Dengan Kasus Andi Nurpati mengenai surat Mahkamah Konstitusi yang didasarkan KPU untuk menjadi dasar Pleno KPU yang menetapkan Dewi Yasin Limpo dari Daerah Pemilihan Sulawesi I, dan kemudian dianulir KPU sendiri dengan menetapkan Calon dari Partai Gerindra sebagai calon terpilih. Organisasi sekelas KPU seharusnya mempunyai pengadminitrasian kepemiluan yang baik, selama ini KPU belum memiliki pengadimistrasian penyelenggara pemilu memadai, hal ini dilihat sistem pemberian nomor surat keluar KPU yang belum valid serta penge-faxkan yang dapat dilakukan diruangan komisioner Andi Nurpati, hal ini jelas melanggar etika dalam organisasi KPU. Seharusnya penge-faxkan surat dari Mahkamah Konstitusi harus dilakukan oleh ke-sekjenan atau seharusnya sekjen KPU yang melakukan pengefaxkan atau menerima faximile dari lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Tumpang tindihnya tugas antara Komisioner dengan sekretariat jenderal KPU merupakan kesalahan komisioner KPU dalam membangun internal KPU.
Internal KPU seharusnya diperbaiki misalnya: hubungan kerja antara kepala Biro harus di perbaiki, tidak ada kesan terjadinya ego sektoral antara sesama kabiro, kabiro-kabiro dalam KPU harus memiliki tata kerja yang jelas. Komisioner KPU harus selalu berkomunikasi dengan Kabiro-kabiro, konsep penyelenggara pemilu seharusnya dilakukan oleh Komisioner KPU sedang sekjen KPU hanya melaksanakan secara teknis penyelenggaran Pemilu. Tidak seperti sekarang ini, konsep aturan-aturan dibuat oleh ke-sekjen-an KPU, Komisioner KPU hanya mencermati kalimat-kalimat dalam rancangan peraturan dan habis mencermati tidak memperdebatkannya. Inilah kesalahan yang harus diperbaiki oleh komisioner KPU kedepan. Komisioner KPU harus mengerti dan paham betul mengenai sistem penyelenggaran pemilu, grand disain KPU harus jelas, terarah, tersistem dan terpola. Jelas memiliki arti pola pikir komisioner KPU harus bersikap negarawan, dimana komisioner KPU harus berpikir lingkup nasional. Komisioner KPU harus mampu mempertejemahkan aturan-aturan secara lex generalis kedalam aturan-aturan yang bersifat lex spesialis. Dalam memperterjemahkan aturan-aturan lex generalis, seharusnya komisioner KPU dibutuhkan dari ahli hukum tata negara, atau ahli dibidang politik. Tidak seperti sekarang ini yang diambilkan dari ahli pertanian dan tidak memiliki pengalaman di bidang pemilu sama sekali.
        Bagaimanapun juga penataan ulang internal KPU harus secepatnya dilakukan. Pasca kasus Andi Nurpati, KPU harus mampu memperbaiki internalnya sendiri sehingga KPU tidak terjebak pada persoalan internal yang tidak pernah terselesaikan. Sehingga kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap KPU semakin tidak berarti, bila kita menginginkan penyelenggaraan pemilu 2014 sesuai azas-azas demokratis, independen, imparsial, proposional dan memiliki intergitas yang tinggi. Maka komsioner KPU masih aktif sekarang ini, harus melakukan konsolidasi secara internal. Untuk menyelamatkan organisasi KPU dari kehancuran politik. Bila ada skenario pelemahan KPU sekarang ini, akan menjadikan momentum penguasa saat ini untuk mengembalikan KPU sebagai alat pendukung kekuasaan. Sehingga kekuasaan seolah-olah demokratis pada masa orde baru, akan terulang kembali, KPU hanya akan mudah dipermainkan kekuasaan untuk meraih apa yang diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar